Cerita/Kesaksian

Natal: Ketuban Pecah

Oleh: Yvonne Sumilat

Kemarin pagi aku ke pasar. Aku belanja semauku. Uang tidak jadi masalah. Banyak bahan yang aku beli. Makhlumlah hari ini Hari Natal. Tepatnya Natal pertama sejak aku menjadi istri. Pasti aku punya idealisme di Hari Natal di keluargaku yang masih belia. Sepulang pasar aku mengolah bahan-bahan menjadi makanan matang setelah melalui proses memasak. Setelah memasak aku merasa lelah. Perutku besar sekali. Kaki kiri kananku bengkak. Dokter kandungan sudah aku kunjungi di awal Desember. Dokter itu menahan rasa yang tidak diungkapkan kepadaku ketika memperhatikan kakiku yang bengkak itu. Dokter tidak mengatakan hal yang mengkuatirkan. Hanya dengan senyum-senyum dia berkata, "Enci Ivon... Jangan-jangan tu ade lahir pas Natal...?" Jangan-jangan bayiku lahir tepat di Hari Natal.

KARTU NATAL PERTAMA

Ditulis oleh: Lidya

Di sebuah perumahan yang asri dan tenang, di kawasan Jakarta Selatan, tinggallah salah satu keluarga harmonis. Keluarga Markus, namanya. Keluarga ini memiliki salah seorang anak laki-laki yang dikenal manja, sombong dan keras kepala bernama Jonathan, namun biasa dipanggil Jo. Jonathan tidak terbiasa melakukan segala hal sendirian, pasti dia selalu ditemani orangtua atau bibinya (asisten rumah tangga).

Mariska dan Petra, nama orangtua Jonathan. Mereka bekerja sebagai pegawai kantoran. Selain sibuk bekerja sebagai pegawai, Pak Petra juga merupakan seorang pelayan di gereja. Pada saat keduanya sibuk, Jonathan akan diurus si bibi, begitu pun sebaliknya.

Minggu siang yang cerah, Jonathan pulang bersama papanya dari gereja. Saat itu, papanya baru selesai pelayanan sedangkan Jonathan sendiri baru selesai sekolah minggu. Sepanjang perjalanan menuju rumah dia menceritakan banyak hal kepada papanya, salah satunya mengenai kado Natal.

Gadis Penjual Korek Api

Udara amat dingin pada waktu itu; salju turun, dan hampir cukup gelap, dan malam -- malam terakhir tahun ini. Dalam kedinginan dan kegelapan ini, seorang gadis kecil yang malang menyusuri jalan ini, tanpa kepala, dan dengan kaki telanjang. Ketika dia meninggalkan rumah, dia memakai sandal, itu benar; tetapi apa gunanya itu? Sandal itu sangat besar, yang dulu dipakai ibunya; begitu besar; dan gadis kecil yang malang itu kehilangan sandal tersebut saat dia menyeberang dengan cepat ke seberang jalan, karena dua kereta kuda yang lewat dengan sangat cepat.

Malaikat Natal

Saat itu tanggal 23 Desember 1993. Untuk seorang Ibu tunggal yang sedang bersekolah dan mendukung anak sendirian, Natal tampak suram. Aku melihat ke sekeliling rumah kecilku, kesadaran muncul seperti kesakitan yang berputar perlahan. Kami miskin.

TUKAR KADO NATAL: BUKAN KEBETULAN

Tukar kado Natal adalah salah satu (tugas) mengasihi sesama (ha.... ha.... terlalu rohani bahasanya).

Teknisnya diatur supaya tukar kado itu berjalan dengan baik. Alias tidak kacau.

Setiap orang mengambil satu potong kertas yang digulung. Ada satu nama di kertas itu. Maka selanjutnya adalah memikirkan kado apa yang akan diberikan kepada nama itu.

Teacher A memberinya kado hiasan pohon Natal. Maka dengan apa adanya dia berkata,

"Ooohhh Teacher.... Aku gak punya pohon Natal."

"Gak papa... Simpan saja" demikian kata Teacher yang memberi kado itu.

Kado Natal Terindah

Beberapa temanku bertanya, "Kenapa tidak menulis tentang Natal?" Aku hanya tersenyum. Sejujurnya, aku tidak menulis tentang Natal bukan karena aku tidak mau menulis, tetapi karena bingung mau menulis apa. Apa yang harus ditulis? Tuhan saja belum kasih ilham kok!

Ini Natal pertamaku di China, Natal pertama jauh dari orang tua. Sedih, sih! China adalah negara komunis, meskipun ada "suasana Natal" (hiasan-hiasan Natal, pohon Natal, dan lain-lain), aku tahu semuanya komersial. Jadi, itu sangat menyentuh hatiku. Sebenarnya, aku tidak mau mengingatnya menjelang Natal. Takut sedih. Takut kangen rumah. Takut menangis ...

Tetapi, ternyata Tuhan sudah menyiapkan Natal yang indah. Sahabat sekaligus teman sekamarku bakal dibaptis 24 Desember. Semester kemarin ada juga temanku yang dibaptis. Tetapi buatku, baptis yang ini lebih istimewa karena yang dibaptis itu sahabatku.

Ketika Natal yang Telah Lalu Datang Kembali

Kenangan saya akan Natal beberapa tahun belakangan ini di kota Lynchburg, Ohio, masih terbayang jelas di mata saya. Ayah biasanya mengangkat tubuh saya tinggi-tinggi agar bisa menekan bel rumah nenek, dan semua orang berlarian masuk ke dalam ketika pintu dibuka. Saya bisa mencium bau lemak lilin-lilin yang dinyalakan di atas pohon Natal dan aroma permen buatan nenek yang masih bergolak di panci yang masih menyala. Merupakan pengalaman yang menggetarkan ketika bangun tidur dan menemukan sebuah jeruk di kaus kaki, dan saya tidak pernah lupa betapa menyenangkannya tahun itu ketika saya mendapatkan sepotong pisang! Kami berasal dari keluarga pendeta desa dan kami sangat miskin. Namun, kami mengalami masa-masa yang menyenangkan.

Selama setahun, saya dan saudara saya, Bob, memimpikan mendapat hadiah sepeda. Berbulan-bulan kami mendatangi toko untuk melihat-lihat dan bertengkar tentang warna sepeda yang kami inginkan. Akhirnya, kami sepakat: sepeda itu harus berwarna merah.

Sang Eksekutif yang Sempurna

Natal adalah saat yang tepat dalam setahun untuk meninjau gaya manajemen Yesus dari Nasaret. Apa yang Yesus capai adalah yang terbaik. Ia merekrut dan memotivasi dua belas orang-orang awam menjadi orang-orang yang luar biasa. Ia membentuk kepribadian mereka yang beragam, dengan hasrat, ambisi, dan pemikiran yang berbeda, menjadi sebuah kesatuan yang luar biasa.

Ia mengorganisir kekristenan yang telah tumbuh memiliki 1,5 milyar pengikut dan cabang di seluruh dunia dan 223 negara. Yesus tidak secara agresif memaksa orang-orang untuk mengikuti ajaran-Nya. Ia juga tidak membujuk mereka dengan cara yang licik. Namun, Ia mengajak para pendengar-Nya dengan tidak pernah melupakan kebutuhan mereka. Ia dengan setia memotivasi dan mempraktikkan prinsip motivasi paling penting. Orang ingin tahu seberapa besar Anda peduli sebelum mereka peduli pada apa yang Anda tahu.

Tak Ada Natal Keluarga

Aku dibesarkan di tengah keluarga "Bhinneka Tunggal Ika". Orang tuaku adalah orang Jawa yang berpandangan bahwa agama adalah "ageming aji" (baju kehormatan diri). Mereka membebaskan anak-anak memilih agamanya masing-masing. Aku sendiri mengenal kekristenan, sederhana saja, karena diajak tetangga sebelah pergi ke sekolah minggu. Syukurlah, sejauh ini perbedaan agama itu tak pernah menjadi sumber konflik dalam hubungan persaudaraan kami. Ibuku pernah berkomentar dengan bangga, "Kami di sini Pancasila, kok. Ada Al- Quran, ada Injil, ada Tripitaka. Mau apa saja, silakan!"

"The Last Waltz"

Namaku Lily, kami tinggal di sebuah kota kecil di Manado. Sejak muda, ibuku senang sekali menari. Untuk itu, saat pernikahannya, Ayah meminta agar tarian terakhir ibu dipersembahkan untuknya. Maka dari itu, lagu pertama pada saat ibu menari adalah "The Last Waltz" dari Engelbert Humperdinck. Dan rupanya ini benar-benar menjadi kenyataan, karena beberapa bulan kemudian pada saat melahirkan aku, ibu meninggal dunia.

Daddy -- begitulah aku memanggil Ayah, karena kasihnya kepada ibu, Daddy tidak pernah mau menikah lagi. Aku dibesarkan oleh Daddy dan Nenek, dan setiap malam Natal, sudah merupakan tradisi bagi Daddy untuk selalu mengalunkan lagu kesayangannya, "The Last Waltz", sambil mengingat ibu. Ketika aku berusia 5 tahun, Daddy mengajari aku menari waltz.

Pages