Natal: Ketuban Pecah

Oleh: Yvonne Sumilat

Kemarin pagi aku ke pasar. Aku belanja semauku. Uang tidak jadi masalah. Banyak bahan yang aku beli. Makhlumlah hari ini Hari Natal. Tepatnya Natal pertama sejak aku menjadi istri. Pasti aku punya idealisme di Hari Natal di keluargaku yang masih belia. Sepulang pasar aku mengolah bahan-bahan menjadi makanan matang setelah melalui proses memasak. Setelah memasak aku merasa lelah. Perutku besar sekali. Kaki kiri kananku bengkak. Dokter kandungan sudah aku kunjungi di awal Desember. Dokter itu menahan rasa yang tidak diungkapkan kepadaku ketika memperhatikan kakiku yang bengkak itu. Dokter tidak mengatakan hal yang mengkuatirkan. Hanya dengan senyum-senyum dia berkata, "Enci Ivon... Jangan-jangan tu ade lahir pas Natal...?" Jangan-jangan bayiku lahir tepat di Hari Natal.

Hari ini aku ke gereja bersama suami. Daster bagus warna cerah sebagai gaun ibu hamil adalah busanaku. Di gereja, aku bertemu dengan banyak orang. Aku salami semua orang yang sempat aku temui. Seorang bapak paroh baya menyalamiku, "Lho.... Belum-belum lei", maksudnya adalah kenapa aku kok belum juga melahirkan kendati perutku sudah besar sekali. Lalu, bapak itu menyambung kalimatnya, "Mungkin nanti stow.... Ini hari kan mase panjang, " sembari tangannya bergerak dari bawah ke atas, seakan atas itu menunjukkan malam.

Pulang gereja aku diundang singgah ke rumah seorang majelis yang sengaja open house di Hari Natal itu. Lalu kami makan siang bersama. Tidak lama kemudian kami pamit pulang. Sesampai di rumah suamiku berbaring lelah. Di meja makanku ada masakanku. Aku makan sedikit lagi ah... Sayang masakanku kalau tidak dijamah. Lalu, aku berdiri hendak mengambil air minum. Ketika itu juga ketuban pecah. Aku langsung berjalan sedikit lari menuju kamar mandi. "Pa ....!!! Paaaaa ....!!! Kita pe ketuban pecahhh!"

Lalu, aku siap-siap ke rumah sakit. Rumah sakitnya di pinggir kota jadi sedikit jauh. Aku ambil koran yang banyak supaya ketika aku duduk di sofa mobil, koran itu sebagai alas dudukku. Sampailah aku di kamar persalinan. Suasana Natal terasa juga di rumah sakit. Rumah sakit sepi. Banyak orang pergi ke gereja dan berkumpul bersama keluarga masing-masing. Selain pasien, terlihat sedikit orang. Tetapi ada dokter jaga. Di ruang bersalin waktu itu ada 3 orang koas. Aku lama sekali di ruang itu. Aku tidak tahu apa sebabnya kenapa aku lama menunggu. Setelah semuanya usai aku baru tahu ternyata suamiku diberi tugas oleh petugas medis untuk membeli benang jahit yang diperlukan pada proses akhir operasi. Semua apotik di Manado tutup karena itu tanggal merah. Wah gawat..... Entah bagaimana suamiku bertemu temannya yang bersedia menolong mengupayakan benang itu. Hari sudah mulai malam. Aku didorong ke kamar operasi. Setelah dokter di telpon, dokter datang di kamar operasi. Dengan tenang dokter berkata, "Ini so jalan Tuhan," ini sudah jalan Tuhan. Aku pasrah saja. Aku disuntik lalu aku disuruh tutup mata. Hanya sedikit detik kemudian aku ingin menggenggam telapak tanganku tapi aku tidak berdaya. Telingaku tuli. Rupanya aku dibius total.

Ketika mataku masih tertutup aku mendengar suara seorang ibu di telingaku berbisik, "Ci Ivon, selamat ne...., so jadi mama." Bisikan ibu itu membuat mataku melek. Aku sudah berada di kamar lain. Ada banyak lampu menyala, rupanya di luar sana sudah gelap malam. Lalu ibu itu bertanya, "Sapa depe nama?" Siapa namanya? Lalu aku menjawab, "Sharon". Dia memberitahuku bahwa bayiku laki-laki. Oh...... Lalu aku meralat, "Christopher". Air ketuban berceceran tepat di Hari Natal, namun yang membahagiakan adalah aku dan bayiku selamat....

Ingatlah bahwa ada jalan Tuhan bagi anak-anak-Nya, bahkan di hari Natal. Mungkin jalan Tuhan itu jalan yang spesial.

"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." Yesaya 55:8-9.