Cerita/Kesaksian

Natal yang Penuh Suka dan Duka

Natal merupakan liburan yang paling istimewa bagi ayah saya. Persiapan menjelang Natal, berbelanja hadiah, dan menghias rumah tidak membuatnya lelah - bahkan ia sangat menikmatinya.

Ibu bercerita, ayah memperkenalkan saya dengan pohon Natal saya yang pertama waktu saya masih berusia sembilan hari. Pohon Natal itu kecil, tetapi setiap hiasan, lilin, dan untaian perada perak digantungnya dengan sangat teliti pada tempatnya, seolah-olah hanya ia yang dapat melakukannya. Setelah selesai, ayah mengangkat saya dari keranjang buaian dan menggendong saya supaya melihat hasil pekerjaan tangannya.

Ayah masih menghias empat pohon Natal sesudah itu dan setiap kali pohonnya lebih besar dari tahun sebelumnya.

Hai!

Saat itu hari Minggu, bertepatan dengan hari Natal. Keluarga kami menghabiskan masa liburan di San Fransisco bersama orangtua suami saya. Namun supaya dapat masuk kerja pada hari Senin, kami harus pulang ke Los Angeles pada hari Natal itu dan menempuh jarak kurang lebih 650 km.
Kami berhenti untuk makan siang di rumah makan King City yang hampir kosong. Kami satu-satunya keluarga yang makan di sana dan anak-anak yang ada di situ hanyalah anak-anak kami. Saya mendengar Erik, anak saya yang berusia satu tahun, memekik kegirangan: "Hai! Hai!" Ia memukul-mukul dengan tangan mungilnya yang gemuk dan lucu pada kursi makan anak. Wajahnya tampak begitu gembira, matanya berbinar-binar, mulutnya tersenyum lebar sehingga gusinya yang tanpa gigi itu kelihatan. Ia menggeliat, mengoceh, dan tertawa-tawa gembira. Tatkala saya melihat apa yang menjadi sumber kegembiraannya ... saya tak dapat langsung mempercayai apa yang saya lihat.

Injil Menurut Toko Serba Ada

Ada kisah tentang kebaikan dan kasih yang tercecer dari antara perayaan-perayaan Natal, semacam kisah Orang Samaria yang Baik Hati. Kisah tentang kasih yang indah ini sayangnya tidak terjadi di gereja, tetapi di sebuah toko serba ada (Dept. Store) di Amerika Serikat.

Pada suatu hari seorang pengemis wanita, yang dikenal dengan sebutan "Bag Lady" (karena segala harta-bendanya termuat dalam sebuah tas yang ia jinjing kemana-mana sambil mengemis), memasuki sebuah Dept. Store yang mewah sekali. Hari-hari itu adalah menjelang hari Natal. Toko itu dihias dengan indah sekali. Semua lantainya dilapisi karpet yang baru dan indah. Meskipun bajunya kotor dan penuh lubang, pengemis ini tanpa ragu-ragu memasuki toko ini. Badannya mungkin sudah tidak mandi berminggu-minggu. Bau badan menyengat hidung.

Perempuan di Kamar A-14 (Kesaksian)

Waktu itu satu minggu menjelang Natal 1969 di Tegucigalpa, Honduras, tempat tugas suami saya. Minggu itu sangat sibuk karena setiap orang terlibat dalam kegiatan di sekolah, gereja atau perkumpulan, selain bersiap-siap untuk merayakan Natal di rumah masing-masing.

Perkumpulan Wanita Pemerintah Amerika Serikat (PWPAS) telah merencanakan acara sosial tahunan, sebuah pesta Natal di panti wreda Asilo de Invalidos. Sebagai sekretaris PWPAS, tugas saya adalah menelepon semua anggota, mengingatkan mereka untuk memanggang kue dan menolong kami menghibur pasien-pasien. Hampir setiap kali saya menelepon mereka, jawabannya selalu, "Saya senang sekali memanggang kue, tetapi saya tidak bisa datang ke pesta." Sebelum selesai menelepon untuk terakhir kalinya, saya sudah merasa jengkel.

Dua Hari Sebelum Natal

Dua persalinan yang saya alami dahulu, berjalan lancar. Dan kali ini, saya mengharapkan hal yang sama terjadi kembali. Tetapi, ternyata, dua bulan sebelum waktunya, kedua kaki saya mengalami pembengkakan. Lengan dan wajah saya berubah menjadi tembem. Dan karena timbul bercak-bercak di tubuh, dokter menganjurkan saya agar memeriksakan diri ke rumah sakit.

Natal, Masa untuk Menggali Kenangan

Pada suatu musim panas, keluarga saya memberi pekerjaan kepada seorang pengembara meskipun kami menduga orang itu peminum. Pada musim gugur, ia meninggalkan kami, tetapi pada hari Natal, sebuah kartu Natal dikirim dari tempat yang ratusan mil jauhnya -- tak ada pesan yang tertulis, hanya ada tanda tangan. Lalu pada musim semi, ia datang menemui kami.

"Saya sudah berhenti minum-minum," katanya. "Saya akan mendapat pekerjaan tetap." Waktu kami mengucapkan terima kasih atas kartu yang dikirimnya, ia mengatakan itu satu-satunya kartu yang dikirimnya. "Saya ingin berterima kasih melalui kartu itu, bukan karena pekerjaan yang kalian berikan, tetapi karena kalian menghargai saya. Itu membantu saya memasuki kehidupan yang baru."

Kekuatan Doa dalam Penyembuhan

Aku dan suamiku merasa letih pada hari Natal itu. Sebagai dosen, kami telah menyerahkan nilai-nilai semester sebelumnya pada musim gugur. Kami segera menyiapkan beberapa kopor dan mengajak anak-anak untuk mengadakan perjalanan ke rumah kakek dan nenek mereka di California. Suamiku, David, tergores jarinya ketika ia menutup kopor. Jarinya tak berdarah dan ia pun tak menghiraukannya. Ketika kami akan berangkat, ayahku menelepon dan mengatakan bahwa ibunya atau nenekku baru saja meninggal dunia. Pemakamannya akan dilangsungkan segera sesudah hari Natal.

Mukjizat Natal

Kisah nyata ini terjadi pada malam Natal, saat Perang Dunia I pada 1914, tepatnya di front perang bagian barat Eropa. Pada saat itu, tentara Perancis, Inggris, dan Jerman saling baku tembak. Pada malam Natal yang dingin dan gelap itu, hampir setiap prajurit merasa bosan dan muak dengan berperang, apalagi setelah berbulan-bulan mereka meninggalkan rumah mereka, jauh dari istri, anak, maupun orang tuanya.

Pada malam Natal, biasanya mereka berkumpul bersama seluruh anggota keluarga masing-masing, makan bersama, bahkan menyanyi bersama di bawah pohon terang di hadapan tungku api yang hangat.

Berbeda dengan malam Natal saat itu, di mana cuaca di luar sangat dingin dan salju pun turun dengan lebatnya, mereka bukannya berada di antara anggota keluarga yang mereka kasihi, malah berada di antara musuh yang setiap saat bersedia menembak mati siapa saja yang bergerak.

Pages