Bagaimana mereka akan mengenal Dia?

Lukas 2:11,12

Kita tidak ada di sana untuk menyaksikannya tetapi sama seperti para gembala, kita akan melihat tanda dan mengenali Dia. Injil Lukas memberikan gambaran yang sangat hidup tentang malam Natal pertama itu. Melalui firman yang tertulis kita dapat mengenal Firman yang Hidup.

Bagi ratusan suku bangsa di Indonesia, cerita dari Injil Lukas ini tidak dikenal. Dan Kristus, Firman Yang Hidup, walaupun disediakan untuk semua orang, seringkali tidak dikenali oleh berjuta-juta orang karena firman Tuhan yang tertulis belum tersedia dalam bahasa mereka.

Anda dapat mengambil bagian dalam membawa Alkitab bagi orang-orang yang masih menunggu. Anda dapat memberi diri untuk berdoa dengan setia bagi suku-suku bangsa yang belum memiliki firman Tuhan.

Mendengar lagi kisah Natal . . . untuk pertama kali

Natal hampir tiba. Persiapan mulai dilakukan sejak Oktober ketika tim penerjemah dan para konsultan sibuk mengerjakan terjemahan Injil Lukas.

Sewaktu tiba hari Minggu pertama di bulan Desember, pendeta memulai ibadah seperti biasa dengan meminta jemaat untuk berdiri mendengarkan pembacaan firman Tuhan. Namun kali ini, ia membuaka salinan Alkitab dalam bahasa daerah setempat, dan bukan dalam bahasa nasional seperti biasanya.

"Pembacaan kita diambil dari Lukas 2, ayat 1 sampai 7," ucapnya.

Semua orang, bahkan tim penerjemah, begitu terkejut dengan apa yang terjadi kemudian. Pendeta itu mulai membaca dari terjemahan dua pasal; pertama Injil Lukas yang baru saja selesai dicetak. Tetapi setelah membaca tujuh ayat yang pertama, ia berseru, "Rasanya begitu enak, rasanya begitu enak!" Karena tidak bisa berhenti membaca, pendeta itu akhirnya membaca seluruh pasal 2 sampai selesai, membaca dengan lancar dan penuh penekanan.

Tim penerjemah begitu terharu. Sederet bangku penuh gadis-gadis remaja saling memandang terkesima satu sama lain. Sewaktu pendeta selesai membaca, sorakan spontan terdengar dari seluruh jemaat, diiringi air mata dan seruan "Amin" dan "haleluya." Akhirnya ibadah itu ditutup dengan saling berpelukan di antara orang-orang yang telah ikut bekerja dalam penerjemahan tersebut.

Setelah ibadah selesai, salah satu anggota jemaat yang terhitung berpendidikan tinggi, seorang dokter di sebuah rumah sakit besar di negara tersebut, mendekati salah satu anggota tim penerjemah. Ia berkata bahwa mulanya ia berusaha mengikuti pembacaan itu dalam Alkitabnya yang berbahasa nasional, tapi kemudian ia memutuskan untuk menutup matanya dan mendengarkan pembacaan pendeta dalam bahasa daerah.

"Saya membiarkan diri saya terbawa oleh firman itu. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa tenggelam dalam firman Tuhan. Saya pikir saya sudah dangat hafal cerita Natal, tetapi saya harus mengakui bahwa hari ini saya seperti baru mendengarnya untuk pertama kali.

Natal tak Terlupakan

Apa hubungan antara Natal dengan perjalanan tiga hari mendaki gunung. Alkitab yang dipak dalam kardus bir, dan nasi serta sup buncis? Dalam keadaan biasa, hampir tidak ada hubungannya. Tetapi Natal kali ini memang bukan Natal yang yang biasa bagi enam orang percaya dan sekitar 150 orang Kringu di daerah pegunungan Asia. Bersama-sama kami merayakan dedikasi Perjanjian Baru dalam bahasa Kringu.

Untuk mencapai desa kecil mereka yang terpencil, kami menumpang helikopter melewati pegunungan berbukit-bukit dan jurang-jurang yang terjal sampai ke sebuah landasan pesawat yang ada di atas gunung. Kami berenam dan petunjuk jalan harus memastikan bahwa kardus-kardus bir itu adalah Perjanjian Baru dalam bahasa Kringu, buku-buku yang tak ternilai harganya, hasil kerja kami bertahun-tahun.

Makan siang kami yang terdiri dari nasi dan sup buncis terasa enak sekali di tengah dinginnya udara gunung, tiga jam kemudian kami mencapai puncak gunung yang pertama di ketinggian 3000 m. Penerjemah dari suku Kringu ikut mendaki bersama kami dan ia membagikan kesaksiannya: "Selama bertahun-tahun orang-orang percaya mengalami aniaya, bahkan kadang dipenjara. Tetapi kami sangat bahagia Yesus Kristus juga datang bahkan ke tempat seperti ini."

Setelah tiga jam mendaki, dengan lutut yang lemas sampai terasa seperti agar-agar, kami sampai di tempat kami akan menginap untuk malam itu. Makan malam kami kembali diisi dengan nasi dan sup buncis, kemudian kami masuk ke dalam kantong tidur masing-masing di atas lantai tanah. Tuan rumah tidur di luar rumah supaya ada cukup tempat untuk kami. Pagi-pagi benar ia bangun dan menyiapkan sarapan berupa kentang dan teh. Tidak lama kemudian badan kalian terasa sakit, Tuhan senang karena kalian datang untuk menyaksikan pekerjaan-Nya di tengah-tengah kami, masyarakat Kringu," kata si pemandu jalan.

Kami tiba di tujuan pada tengah hari sebelum malam Natal. Di sana kami bertemu Pendeta Neil, yang menjadi percaya sewaktu belajar di luar negeri. Selama bertahun-tahun, para tetangganya yang belum percaya menghalang-halanginya untuk pulang ke kampung halaman. Ia mendaki selama lima hari untuk datang ke perayaan tersebut. Sebuah keluarga yang terdiri dari empat orang harus berjalan selama tiga hari untuk dibaptis. Mereka datang walaupun pada malam sebelum keberangkatan, rumah mereka dikepung oleh sekitar 50 orang penduduk desa yang tidak ingin mereka bergabung dengan agama baru.

16 orang dibaptis pada hari itu di tengah sungai yang berair dingin di atas gunung, dan kesaksian mereka menggugah hati kami. Pendeta Yesaya berdiri di air selama kira-kira 20 menit tanpa memperdulikan rasa dingin yang menyerang. Kebaktian hari Natal itu begitu dipenuhi dengan sukacita.

Walaupun saya masih pusing akibat ketinggian tempat itu, tapi saya bisa merasakan kegembiraan masyarakat Kringu yang baru saja memiliki Alkitab mereka sendiri setelah bertahun-tahun menunggu. "Amin", air mata, dan senyuman lebar mengiringi puji-pujian, doa, dan kotbah pada hari itu.

Kenangan tentang rasa sakit dan otot yang nyeri karena mendaki telah hilang, tetapi kami tidak akan pernah lupa pengalaman kami di tengah orang-orang Kringu. Tidak akan pernah lagi kami meremehkan Alkitab yang kami miliki.

Menanti Hari Natal

Hari itu tanggal 22 Desember di kepulauan tropis ini, dan saya baru saja mulai menerjemahkan salah satu buku dalam Perjanjian Baru. Saya sedang dalam percakapan mendalam dengan sekelompok orang Bonel tentang perikop dari Injil Markus yang sedang kami kerjakan. Saat itu tiba-tiba datang seorang laki-laki dari desa sebelah, mengikatkan kanonnya pada tambahan, dan berjalan masuk ke rumah saya.

"Saya ingin bicara dengan Anda, " kata pendatang itu dengan serius.

Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dari penerjemah dan duduk berbincang bersama dia. Setelah beberapa waktu, ia mulai masuk ke alasan kedatangannya yang sesungguhnya.

"Saya akan memimpin kebaktian Natal di desa saya, dan saya ingin melakukannya dalam bahasa kami sendiri, bukan dalam bahasa nasional seperti biasanya, " katanya. "Apakah Anda sudah menerjemahkan Lukas 2:1-20? Saya ingin membacanya dalam kebaktian Natal nanti."

"Kami baru saja mulai menerjemahkan Markus dan sama sekali belum menerjemahkan Lukas, " kata saya menjelaskan sambil dalam hati mengira-ngira apakah mungkin kami menerjemahkan perikop itu sampai selesai agar dapat dipakai pada kebaktian Natal nanti.

"Maukah Anda menerjemahkannya?" katanya dengan memohon. "Saya bisa menginap di desa ini kalau Anda bisa menyelesaikannya besok.

Setelah berdiskusi tentang bagaimana agar hasil terjemahan itu nantinya dapat diperiksa dulu sebelum dipakai, akhirnya kami menghentikan semua yang sedang kami kerjakan saat itu dan mulai membuat terjemahan kasar untuk perikop tersebut. Kami bekerja selama 2 hari penuh, kemudian pendatang dari desa tentangga itu serta satu orang lain lagi membaca hasil terjemahan untuk memeriksa kejelasannya, apakah dapat dimengerti dan apakah terjemahan itu sudah terdengar sebagai bahasa Bonel yang wajar. Kemudian orang tadi membacanya berulang-ulang dengan bersuara sebagai latihan. Lalu kami memasukkan beberapa salinan terjemahan itu ke dalam kantong plastik, supaya kertas-kertas itu tidak basah sewaktu dibawa pulang ke desa sebelah dengan kano.

Pada tanggal 24 Desember, laki-laki dari kampung sebelah itu pulang ke desanya, dengan hati-hati mendayung kano dengan kertas-kertas berharga di dalamnya. Hari Natal itu menandai pembacaan pertama Alkitab bahasa Bonel dalam kebaktian di gereja!

Diambil dari:
Judul buletin: Buletin Kardidaya (Edisi III, 2003)
Penulis artikel: Tidak dicantumkan
Halaman: 2 -- 3