Duta Pembawa Damai
Renungan Natal (Sebastian)
Dunia? Realistiskah? Mimpikah? Tidak akan mungkin ada kedamaian di dunia tanpa kedamaian di antara bangsa-bangsa. Tidak akan ada kedamaian di antara bangsa-bangsa hingga ada kedamaian di komunitas. Tidak akan ada kedamaian di komunitas sampai ada kedamaian di keluarga. Dan tidak akan ada kedamaian di keluarga tanpa kedamaian di pribadi kita masing-masing. Akhirnya, tidak akan ada kedamaian di dalam pribadi hingga kita mengundang Raja Damai, Yesus Kristus, untuk bertahta dalam hati setiap kita.
Natal adalah saat yang sempurna untuk menyatakan kasih kita kepada sesama karena kita diingatkan akan kasih Allah kepada kita, bahwa Ia memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang patut kita dapatkan. "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8-9).
Kasih karunia tersebut dibayar dengan sangat mahal oleh Allah melalui kelahiran dan kematian putra tunggalNya, tetapi kita dapatkan dengan cuma-cuma. Ironis, namun memang harus diberikan oleh Allah sendiri karena manusia tidak akan mungkin mampu mengusahakannya. Hadiah terbesar yang diberikan saat natal tersebut juga harus kita bagikan kepada sesama kita. Menjadi suatu keharusan, jika kita ingin disebut sebagai anak-anak Allah.
Lebih lanjut, sebelum kita dapat membagikan damai tersebut, sudahkah hubungan kita dengan Allah mencapai rekonsiliasi? Atau bahkan sebelumnya sudahkah kita berdamai dengan diri sendiri? Harus diakui bahwa terkadang untuk beberapa kasus yang di dalamnya melibatkan unsur emosional yang terpendam cukup lama, akan sulit menyerahkan luka tersebut kepada Tuhan. Apalagi jika penyebabnya adalah orang-orang yang berada dalam lingkaran terdekat kita. Ketika satu keluarga berkumpul bersama saat natal, akan banyak waktu dimana ingatan-ingatan yang buruk dan luka-luka lama serta hal-hal yang tidak sanggup kita lepaskan. Atau mungkin menjadi sumber kekuatan kita untuk menghadapi masalah kehidupan. Pada saat ini, memberi pengampunan akan sangat melukai dan membutuhkan pengorbanan. Pengampunan menjadi hal yang sepertinya tidak mungkin.
Seorang penyelamat pantai seharusnya tahu bahwa ia tidak dapat menyelamatkan seseorang, selama mereka masih mencoba untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka yang sedang tenggelam pastilah panik dan jika si penyelamat pantai ingin menyelamatkannya, ia harus menahan diri dan membiarkan korban untuk sementara waktu sampai ia sudah menyerah. Karena jika si penyelamat berusaha untuk menyelamatkannya pada saat ia masih meronta-ronta, maka ia hanya akan menguras tenaganya, bahkan dengan resiko ikut tenggelam. Pada saat ia sudah lelah dan menyerah, itulah saat yang paling tepat untuk menyelamatkan korban dan membawanya ke tepi pantai. Begitu pula dengan proses penyembuhan luka pribadi. Saat kita berhenti melawan dan berusaha sendiri, maka Allah akan dengan mudah membawa kedamaian tersebut ke dalam hati kita. Tugas kita hanyalah merespon.
Pelayanan dimana kita sanggup untuk melakukanNya tanpa Yesus, bukanlah suatu pelayanan. Dan hal ini bukan tanpa alasan. Bahwa rasul Paulus kemudian mendapat penjelasan atas pertanyaannya mengenai kelemahan yang dimilikinya: …"Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sehingga ia mampu berkata: "Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. (2 Korintus 12:9).
Dan sesungguhnya, dalam kelemahanlah kita sepenuhnya bergantung kepada Yesus. Pada saat kita mengakui segala keterbatasan kita, mengakui bahwa kita masih bertahan pada luka traumatis, bahkan menjadikan hal tersebut menjadi sumber kekuatan kita untuk hidup, saat itulah kita dapat dipenuhi dengan kasih Kristus dan damai yang Ia berikan. Hanya jika hal itu mampu kita wujudkan, kita baru dapat menjadi duta perdamaian yang sejati. - Sebastian
Judul: Duta Pembawa Damai (2) (baca pula bagian pertama dari renungan ini di: Berbahagialah Orang yang Membawa Damai
Teks Alkitab: -
Nama Penulis: Sebastian