Natal Pak Kuin

Hari ini Hari Natal. Tetapi bagi Pak Kuin, Hari Natal atau bukan, sama saja. Tidak ada bedanya dengan hari-hari lain. Di rumah petaknya yang beratap seng dan berdinding tripleks, tidak ada aksesori Natal. Jangankan memikirkan pernak-pernik Natal, untuk hidup sehari-hari saja susah.

Lagi pula, toh ia tetap harus bekerja; bergaul dengan debu dan terik matahari atau hujan. Apalagi Cantel, 14 tahun, anak bungsunya, sedang dirawat di rumah sakit; sakit maag akut. Mana bisa dia berleha-leha?!

"Memangnya, uang bisa jatuh dari langit?!" sahutnya sambil tertawa kecil, ketika saya menanyakan mengapa tetap bekerja saat anak sedang sakit.

Kalau dia bekerja--di perempatan Kelapa Gading, Jakarta; mengelap mobil-mobil yang antre saat lampu merah dengan kemoceng--sehari, setidaknya ia bisa dapat 10 ribu atau 15 ribu rupiah. Lumayan. Apalagi kalau ada yang berbaik hati dengan memberinya lembaran "gopekan" atau "secengan", bukan recehan "cepekan".

Satu-satunya hal yang membuat Hari Natal terasa agak berbeda baginya; sekitar seminggu lalu--katanya dalam rangka Natal--beberapa pemuda gereja menghampiri dan mengajaknya berbincang sebentar, dan memberinya bungkusan kado. Isinya, seperangkat alat mandi, setengah dus mie instan, dua kilogram beras, selembar kain sarung, dan kaos oblong.

"Bapak senang?" tanya saya. "Bukan senang lagi, Om," jawabnya--walau usianya hampir sebaya dengan ayah saya, Pak Kuin memanggil saya Om-- "Senangnya mungkin seperti para gembala ketika mendapat kabar dari Malaikat bahwa Bayi Yesus telah lahir," sambungnya seraya tertawa ringan.

Pak Kuin bukan seorang Kristen, tetapi ia cukup akrab dengan cerita-cerita Natal di Alkitab. Dulu, katanya, semasa kecil sampai remaja--sebelum ia hijrah ke Jakarta--di daerah asalnya--sekitar Kopeng, Salatiga--ia suka ikut-ikutan Natalan dengan tetangganya yang Kristen.

"Di daerah saya dulu, Om, orang kalau Natalan ikut Natalan, kalau Lebaran ikut Lebaran. Akur. Nggak ada itu berantem-beranteman."

"Bapak tidak ingin ikutan Natalan juga sekarang di gereja?"

"Wah, malulah, Om, di Jakarta gereja besar-besar. Orangnya keren-keren, pakai mobil. Bukan untuk orang macam saya."

"Tetapi ya, saya sudah sangat senanglah ada dari gereja para pemuda yang mendatangi saya, memberi hadiah Natal." Ada binar cerah di wajah Pak Kuin ketika mengatakan demikian.

Andai saja Natal tidak hanya jadi kosmetik, atau sekadar ramai-ramai perayaan tanpa makna. Andai Natal betul-betul menjadi sebuah momen untuk peduli dan berbagi, terutama dengan mereka yang kurang beruntung dan terpinggirkan--sebagaimana Natal pertama dalam Alkitab--betapa akan lebih banyak lagi binar cerah seperti di wajah Pak Kuin. Maka, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri: adakah binar cerah yang telah kita bawa di wajah seseorang pada Natal Tahun ini?

Diambil dan disunting dari:

Judul buletin: Shining Star
Edisi buletin: Tahun ke-IV, No.43/Desember 2002
Penulis : Pdt. Ayub Yahya
Halaman : 15 -- 16

Anda juga dapat membaca Artikel ini di situs sabda.org