Natal Mengingatkan Kita akan Kerinduan Terdalam Kita

Di sekeliling kita, kita melihat pajangan dan mendengar suara-suara musim ini: pohon Natal dan lampu-lampu yang terang, lagu-lagu tentang sukacita dan tentang Yesus Sang Anak. Tentu saja, Natal hari ini dapat mewakili banyak hal, termasuk keluarga, makanan, dan sepak bola. Bersamaan dengan mengepulnya secangkir cokelat panas, kita melihat kemurahan hati yang berlimpah dan keluarga-keluarga menyambut waktu bersama.

Dalam semua itu, musim Natal mengingatkan kita akan pengharapan: waktu untuk merayakan pemenuhan kerinduan yang kita miliki bersama.

Kita semua rindu untuk diperhatikan, dimengerti, dan dikenal. Kita ingin seseorang menatap mata kita—tetapi lebih dari itu, menatap hati kita—untuk melihat siapa diri kita dan tetap mengasihi kita. Kita semua memiliki latar belakang. Latar belakang ini membangkitkan kerinduan yang mengatakan, -Seandainya saja kamu tahu ini tentang saya.- Kita merindukan seseorang yang memahami keseluruhan cerita ini.

Gambar: bersyukur

Kisah Natal mengajarkan kita bahwa Allah memahami kisah kita masing-masing. Selama musim ini, kita merayakan kedatangan Juru selamat dan Raja kita. Kisah Alkitab mengungkapkan kebutuhan akan Juru Selamat dan janji kedatangan-Nya. Para nabi telah menubuatkan kelahiran-Nya selama berabad-abad. Setelah bertahun-tahun menanti, Yesus Kristus sang Mesias —Imanuel —datang ke dunia. Allah menjadi manusia, berinkarnasi, bagi kita.

Dalam kedatangan Kristus, kita mulai belajar betapa dalam Allah mengenal kita dan mengasihi kita. Kebaikan dan kepedihan dalam latar belakang kita dapat menarik kita ke dalam kisah utama tentang Yesus dan penebusan yang Ia bawa. Kedatangan Yesus mengakui keinginan kita yang paling dalam, membebaskan hidup kita dari keterpisahan dari Dia yang menciptakan kita. Allah menyertai kita.

Apa yang Anda nantikan pada Natal ini? Apa yang Anda inginkan? Apakah Anda mencari Kristus yang mengasihi tanpa syarat? Seseorang yang menerima orang asing dan menyambut para pengembara?

Bayi yang dibungkus di palungan dua ribu tahun yang lalu mewujudkan pengharapan. Tetapi kita harus melihat untuk memahaminya. Lihatlah keadaan saat kedatangan-Nya—kandang yang kotor dan para gembala yang hina dengan domba-domba mereka. Dalam kelahiran-Nya, kita melihat Allah yang membalikkan pengharapan manusia. Dia datang dalam kerendahan hati, melalui cara yang tidak terduga namun indah, untuk menarik orang yang paling rendah dan paling tidak layak di antara kita kepada diri-Nya.

Mari kita lihat tiga cara peristiwa-peristiwa di sekitar kelahiran Yesus menunjukkan karakter dan pribadi Allah.

Allah Melihat Hati

Jika kita jujur, kita mungkin tidak akan memilih seorang gadis yang miskin, muda, dan tidak berpengalaman untuk menjadi ibu kita sendiri. Namun, Allah memilih ibu yang demikian untuk Yesus. Mungkin pada masa remajanya, Maria tinggal di sebuah rumah sederhana yang penuh dengan orang-orang, orang tua, saudara-saudara, dan lainnya. Gaya hidupnya sangat berbeda dengan gadis-gadis seusianya saat ini. Bayangkan Maria menghabiskan hari-harinya bekerja berjam-jam dengan oven yang panas, pakaian yang kotor, dan perlengkapan memasak.

Semua ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa Maria? Dari semua anak perempuan di dunia—dan Allah kita yang Maha Tahu mengetahui setiap orang—mengapa harus memilih yang satu ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita cukup melihat Lukas 1. Perhatikan respons Maria ketika malaikat Gabriel menyampaikan kabar baik tentang rencana Allah, bahwa ia akan mengandung. Awalnya ia bingung, lalu bertanya, -Bagaimana hal ini akan terjadi sedangkan aku belum bersuami?- (Lukas 1:34, AYT). Setelah Gabriel menjelaskan bahwa hal ini adalah karya Allah yang tidak ada yang mustahil bagi-Nya, Maria setuju, -Sesungguhnya, aku ini adalah hamba Tuhan. Terjadilah padaku seperti yang engkau katakan itu- (Lukas 1:38, AYT).

Perjumpaan ini menunjukkan kepada kita karakter Allah kita. Allah tidak melihat status sosial, pengaruh besar, atau tebalnya dompet seseorang. Allah melihat hati seseorang. Allah tidak melihat Maria dan memilihnya karena resume-nya. Allah melihat kerendahan hatinya. Dia hanya melihat penyerahan diri. Dia menyerahkan hidupnya dan percaya kepada Allah. Dengan penyerahan hidupnya, Maria masuk ke dalam kisah yang paling agung.

Inilah Juru Selamat yang kita rindukan — seseorang yang mengundang orang-orang yang tidak sempurna dan tidak mengesankan untuk bergabung dalam karya-Nya di dunia ini.

Allah Tertarik kepada yang Rendah Hati

Keadaan kedatangan Kristus menumbangkan ekspektasi umum kita akan seorang raja. Dia datang sebagai bayi yang tak berdaya. Dia tinggal di palungan, di antara lembu dan domba, bukan di ruang istana yang penuh dengan pilar. Hidup di bawah kekuasaan Romawi yang brutal, seorang gadis yang terabaikan dan seorang tukang kayu kelas pekerja akan mengasuh Anak Allah.

Kita ingin seseorang menatap mata kita—tetapi lebih dari itu, menatap hati kita—untuk melihat siapa diri kita dan tetap mengasihi kita.

Inilah Allah yang sesungguhnya. Allah adalah Allah yang mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang-orang yang rendah hati. Dalam dunia yang sibuk dengan status, Kristus datang untuk menunjukkan kepada kita sebuah jalan yang baru. Yesus memilih orang-orang yang tidak mungkin untuk menjadi murid-murid-Nya. Dia menyerahkan misi-Nya kepada para pekerja, pemungut cukai, dan orang-orang yang tidak cocok. Alih-alih menghabiskan waktu dalam lingkaran elitis, Dia hidup di tengah-tengah orang-orang yang rendah, mengelilingi diri-Nya dengan anak-anak, orang sakit, dan orang-orang yang terbuang secara sosial.

Dalam semua ini, kita melihat bahwa Kristus datang bukan untuk memanggil orang-orang yang populer, terkenal, atau kaya raya kepada keselamatan. Dia datang untuk memanggil semua orang yang mau menerima tawaran-Nya berupa anugerah pengampunan yang cuma-cuma.

Kasih Allah adalah untuk Umat Manusia

Pikirkanlah tentang patung-patung kecil yang menggambarkan peristiwa kelahiran Yesus. Maria dan Yusuf di tempatnya? Ya. Orang-orang Majus dan hadiah-hadiah mereka? Ya. Para gembala dan domba-domba semuanya hadir dan diperhitungkan? Ya. Bayangkan adegan kelahiran Yesus itu sebagai sebuah realitas yang hidup. Bayangkan betapa kacaunya kejadian itu.

Mulailah dari bagian tengah: pasangan petani dari kota yang jauh—salah satunya adalah seorang gadis muda yang menggendong bayi yang baru lahir, menggeliat dan menjerit. Di samping mereka ada para gembala bermata lebar dan hewan-hewan ternak. Tak lama kemudian, orang-orang majus tiba di tempat itu dari Timur, membawa lebih banyak harta daripada yang pernah dilihat oleh pasangan yang keheranan itu.

Peristiwa-peristiwa di sekitar kelahiran Yesus menunjukkan karakter dan pribadi Allah: Dia mengasihi semua orang, dan kasih-Nya adalah untuk semua orang. Adegan ini menunjukkan bahwa Allah mengundang semua orang untuk melihatnya. Tidak ada yang tidak layak hadir—tidak ada yang tidak layak menerima sambutan Kristus. Kasih yang tidak pantas dan tidak layak bagi semua kelompok masyarakat menjawab kerinduan mendalam lainnya di dalam hati kita. Kita semua ingin tahu bahwa kita diterima. Kita semua ingin merasakan bahwa seseorang menginginkan kita. Tangan bayi kecil ini mengundang orang-orang dari segala bahasa, suku, dan bangsa, karena suatu hari nanti tangan itu akan terulur di atas kayu salib.

Saat kita merayakan Natal bersama teman dan keluarga kita, mari kita ingat bagaimana kisah Natal menunjukkan kepada kita siapa Allah itu. Marilah kita menyembah Tuhan dengan hati yang tulus, menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Allah. Marilah kita berjalan dalam kerendahan hati, penuh dengan kekaguman akan anugerah Allah yang tidak layak kita terima. Marilah kita mengasihi orang-orang yang kita temui, mencerminkan karakter dan kasih-Nya. Marilah kita tunjukkan kepada orang-orang bahwa pengharapan telah datang dan Allah dapat memenuhi kerinduan mereka. (t/Yosefin)

Diambil dari:
Nama situs : Outreach Magazine
Alamat artikel : https://outreachmagazine.com/features/78417-christmas-reminds-us-of-our-deepest-longings.html
Judul asli artikel : Christmas Reminds Us of Our Deepest Longings
Penulis artikel : Ed Stetzer