Kesederhanaan Kini Kian Sirna
Kesederhanaan itu awal kedamaian. Kegemerlapan adalah awal perseteruan. Karena jauh dari hiruk-pikuk gemerlap kemewahan, kesederhanaan mengawali kedamaian dengan keheningan, kesempatan nan luas, untuk merenung, dan dengan doa juga menjalankan peran rasio sadar dan akal budi waras secara optimal. Keheningan untuk merenung itu sedemikian penting untuk memperluas kedamaian dan perdamaian. Seperti digagas Johan Galtung, perdamaian akan terwujud jika manusia memadukan hati dan pikirannya untuk berdialog dengan sesamanya. Namun, pemaduan hati dan pikiran, bahkan dialog itu, memerlukan keheningan.
Karena itu, resapan kesederhanaan itu menyehatkan jiwa, menumbuh-kembangkan kearifan, merebakkan kejujuran, bahkan mengoptimalkan kinerja, menggiatkan kreativitas serta kemampuan inovatif. Kinerja yang baik dan kreativitas inovasi nan giat itu selalu terhampar di tengah permadani kejujuran dan kearifan atau kebijaksanaan. Mereka tidak akan merangsang iri hati, tidak akan menggelitik nafsu memiliki nan berlebihan, dan tidak akan menggelisahkan. Justru mereka akan mendamaikan. Mengajak orang kepada kebenaran.
Namun, kota-kota dan keluarga-keluarga di kota kini makin gemerlap, kian tidak sederhana. Kesederhanaan kini kian sirna. Semua serba dipoles demi konsumsi yang makin menggebu. Anak-anak dan remaja pun menjadi sasaran mekanisme-mekanisme promosi konsumsi yang digdaya, otoritatif, dan kuat daya pengaruhnya. Orang-orang bersaing, berlomba, secara tidak sepenuhnya sadar, bukan untuk meraih kedamaian melainkan untuk konsumsi diri sendiri. Konsumsi makanan, peranti, aksesori, dan segala kemewahan lain justru menjadi tanda keberadaan yang terakui terhormat, membanggakan. Tanpa konsumsi yang diupayakan semenjulang mungkin, keberadaan diri seperti terhapus, terpinggirkan, terpojok, bahkan sirna. Lalu, ketika kesederhanaan makin sirna, persaingan kian menggila, bahkan sampai tingkat sedemikian irasional. Tak pelak perseteruan pun makin meninggi. Ujungnya, kedamaian kian lepas jauh dari kehidupan insani, kedamaian hanya menjadi mimpi di siang bolong, utopia, atau semacam cita-cita yang banyak diucapkan, tetapi tidak pernah terwujud nyata. Sebegitu tragiskah nasib manusia? Tidak, terutama jika manusia, meraih kembali kesederhanaan sebagai nilai yang niscaya dijunjung tinggi dan diwujudnyatakan di bumi.
Yesus lahir dalam kesederhanaan nan asali, amat jauh dari kegemerlapan yang mencolok mata. Kelahiran-Nya dalam perjalanan, mengisyaratkan tanda penting kesederhanaan yang jauh dari keruwetan rasionalisasi manusia yang serba gelisah. Palungan dan lampin pun menandai kesederhanaan yang mendalam.
Gembala-gembala di padang, yang mendapatkan warta kelahiran Yesus dari malaikat, pun menandai kesederhanaan yang bermakna. "Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus lampin dan terbaring di dalam palungan." (Lukas 2:11-12) Namun semua kesederhanaan itu sungguh akan mengawali kedamaian: "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya." (Lukas 2:14)
Lantas, bisakah kita kini membawa kembali kesederhanaan asali yang telah kian sirna itu? Keruwetan rasionalisasi manusia telah menjebak kehidupan insani dalam nafsu menjulang untuk menang sendiri, berkuasa sendiri, kaya sendiri, menonjol sendiri, hidup sendiri, hebat sendiri, mau-maunya sendiri. Bisa jadi, semua nafsu menjulang itu sedemikian digdaya, sampai-sampai menggiring manusia merayakan Natal hanya untuk menonjol sendiri, menang sendiri, hebat sendiri, kaya sendiri berkuasa sendiri, mau-maunya sendiri. Lalu, Natal dirayakan dengan gemerlap yang sesungguhnya sia-sia belaka. Atau, memang kita sudah tidak lagi peduli pada nilai dan makna? Atau kita sudah tidak berkuasa lagi menegakkan kesadaran rasional untuk mengontrol daya-daya digdaya yang menggairahkan impuls-impuls untuk menjadi konsumtif dan begitu egosentris?
Sesungguhnya kesederhanaan Natal mengingatkan kita untuk kembali waras dan rasional sadar, dalam keheningan refleksi dan aksi.
Diambil dan disunting dari:
Judul majalah | : | Cahaya Buana, Edisi 92/2002 |
Penulis | : | Dr. Limas Sutanto |
Penerbit | : | Komisi Literatur GKT III, Malang |
Halaman | : | 3 -- 4 dan 36 |