Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?
Tugas Renungan Natal 2009 (Naomi Harmini)
"Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?" (Roma 8:31)
Jika kita mendapati anak kita memecahkan vas bunga kesayangan kita, atau kita mendapati dia merusakkan barang yang bagi kita berharga, menghilangkan data yang kita simpan di komputer, merusakkan dokumen kerja kita yang sangat penting, atau bahkan berbuat sesuatu yang memalukan kita sebagai orang tuanya, memaki gurunya di sekolah, berkelahi dengan temannya, mendapat nilai jelek. Apa yang akan kita lakukan?
Akankah kita memberikan dia pelajaran, supaya dia mengerti kesalahannya. Menghukumnya supaya dia tahu kesalahannya, bahwa yang dia lakukan itu tidak benar? Memberi dia 'time out' agar dia tidak melakukan kesalahan itu lagi? Memberi nasehat yang panjang sampai membuatnya mengerti, ataukah kita membiarkannya? Apa yang akan kita lakukan?
Allah memberikan contoh yang lain daripada yang lain di dalam mendemonstrasikan kasih-Nya menghadapi kesalahan manusia. Melihat manusia melakukan banyak kesalahan, kegagalan, kejahatan, keputus- asaan, ketidak-berdayaan, kesedihan, kepalsuan, kebohongan, kemunafikan, penderitaan, berdosa, Dia memutuskan untuk tidak menghukum. Tidak memojokkan. Tidak membiarkan. Tidak memperlihatkan kesalahan kita. Allah mempunyai cara yang lain. Tidak seperti cara kita mendidik anak kita jika kita dapati kesalahannya.
Allah tidak membiarkan kita sendirian. Tidak membiarkan kita menunduk malu, tidak menelanjangi kesalahan kita, tidak mempermalukan kita, tidak menghukum kita dikunci di kamar, tidak menyuruh kita berdiri menghadap tembok, tidak menghajar kita dengan rotan, tidak bersuara keras memperingatkan, tidak memisahkan diri, tidak mendiamkan kita dan membiarkan kita menyesali keadaan kita. Menyesali apa yang sudah kita lakukan, menyesali kesalahan kita, merenungi kegagalan kita sendirian.
Allah tidak melakukan semua itu, karena Allah mengerti bahwa semua itu tidak akan membawa manusia ke arah perbaikan. Semua hukum yang sudah diberikan baik tertulis ataupun lisan, tidak bisa membawa manusia kepada perubahan. Kegagalan demi kegagalan terus terjadi, kesalahan demi kesalahan, dosa, terus berputar, terjadi berulang-ulang, seperti lingkaran yang tidak berujung.
Allah masuk ke dalam dunia orang berdosa. Allah masuk ke dalam dunia yang penuh dengan penderitaan, Allah masuk dan tinggal dalam kesengsaraan, Allah membiarkan diri-Nya berbaur dengan dosa. Allah di pihak kita. Dia tidak berdiri jauh-jauh di sana, tetapi dia mendekati kita, menemani kita, orang berdosa. Menawarkan hidup bersama-sama, sengsara bersama kita, dihukum bersama, gagal bersama, menderita bersama, ditolak, difitnah, dikhianati, ditinggalkan, diolok-olok, dianggap gila, dicurigai, menderita haus dan lapar, miskin, dipandang hina, bergaul dengan orang yang dikucilkan karena mereka sakit kusta, bergaul dengan orang-orang yang dijauhi karena dianggap sampah masyarakat, bergaul dengan wts, pemungut cukai, orang-orang miskin yang dianggap tidak layak untuk ditemani.
Allah yang kudus, mau merendahkan diri-Nya berdampingan, di sisi kita, manusia yang berdosa. Menemani dan ikut merasakan bagaimana tidak enaknya melakukan kesalahan, tidak enaknya menderita, tidak enaknya sengsara, dan semua hal yang tidak enak yang pernah dirasakan manusia.
Dengan kehadiran-Nya di dunia melalui Yesus Kristus. Allah mengalami penderitaan kehidupan di dunia sejak lahir. Allah mengerti dan merasakan kehidupan yang tidak enak dengan menjadi orang miskin di dunia. Allah memberikan teladan kepada kita, suatu cara yang sama sekali baru, yang tidak pernah terpikirkan manusia. Suatu langkah penyelesaian yang telak bagi masalah dosa yang tidak bisa diharapkan bagaimana mengatasinya.
Allah memposisikan diri-Nya disamping manusia berdosa, membela manusia berdosa, menemani manusia berdosa, dengan menjadi manusia, tetapi Dia tidak berdosa. Dia mau menanggung dosa-dosa manusia walaupun dia tidak melakukannya.
Apakah yang akan kita lakukan kepada anak kita jika kita mendapati mereka sedang melakukan kesalahan? Maukah kita merangkulnya dan membisikkan kata-kata, tidak apa-apa, dan menghibur ketakutan mereka oleh rasa bersalah, oleh bayangan kemarahan yang bakal mereka terima? Ataukah kita akan meremukkan perasaan dan memojokkannya? Bisakah kita menangis bersamanya? Menangisi dan menyesali atas kesalahan yang telah diperbuatnya? Mengampuninya dan menanggung akibat salahnya bersama? Sama seperti yang telah Yesus perbuat bagi kita?
Semoga kelahiran Yesus di dunia juga terjadi di hati kita masing- masing, sehingga kita memiliki hati yang baru, hati yang kudus seperti hati-Nya. Amin.