Natal yang Berkenan

Saat ini seluruh umat manusia di seluruh dunia dari berbagai suku bangsa dan agama akan memperingati kelahiran Yesus Kristus yang dikenal dengan Natal. Yang lebih dari 2000 tahun lalu telah lahir di sebuah kota yang bernama Betlehem. Namun belum tentu mereka semua mengerti akan makna Natal itu sendiri. Tanpa sadar kitapun sering terhisab ke dalam bagian mereka yang hanya mengerti Natal hanya sebagai sebuah perayaan yang meriah, Natal berarti kita akan menikmati makanan yang lebih enak dari hari biasa, atau Natal berarti baju baru, Natal harus ada kartu natal, pohon natal, kue natal dan sebagainya.

Sesungguhnya kita tidak akan menemukan makna Natal yang lengkap kalau kita hanya berhenti pada peristiwa kelahiran-Nya saja dan tidak melanjutkan untuk mmemperhatikan seluruh kehidupan dan karya Kristus yang selanjutnya. Karena Natal tidak akan berarti jika tidak dilanjutkan dengan pertumbuhan dan masa dewasa dari sang bayi, yang melakukan seluruh hukum taurat secara sempurna, mengajar dan melakukan banyak mujizat. Dan Natal juga tidak akan berarti jika tidak disusul dengan kematian, berita kebangkitan-Nya dari antara orang mati dan kenaikan-Nya ke sorga. Akhir hidup Yesuslah yang menyebabkan kelahiran-Nya begitu dihargai oleh banyak orang. Karena pada masa-masa akhir hidup-Nya Ia mengorbankan diri-Nya sebagai korban pendamaian yang sempurna antara manusia dengan Allah. Ia juga membuktikan keunggulan dan kuasa-Nya atas maut.

Melihat kepada saat peristiwa Natal yang mula-mula terjadi, ada 3 semangat yang dapat kita teladani dari tokoh utama peristiwa tersebut, Yesus Kristus, yaitu:

Kerendahan hati. Yesus yang dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Ia yang diliputi dengan kekudusan mau memandang kepada manusia yang hina dan berlumuran dosa. Mungkin banyak di antara kita yang hidup dengan kecukupan bahkan berlimpah, kalau butuh sesuatu tinggal nyebut. Tapi tahukah teman-teman kalau di luar sana masih banyak orang yang sangat miskin entah karena bencana alam maupun karena korban Pemutusan Hubungan Kerja. Bagi mereka jangankan untuk membeli sabun atau odol untuk makan normal 3 kali sehari saja mereka harus mengerahkan seluruh tenaga mereka. Kita butuh kerendahan hati untuk rela memandang dan ikut aktif turun menolong mereka, meskipun hal ini kan mengusik kenyamanan kita selama ini.

Rela berkorban. Yesus yang adalah Allah rela turun ke dalam dunia. Ini adalah sebuah pengorabanan dan penyangkalan diri yang sangat luar biasa. Ia adalah Pencipta tapi Ia rela menjadi ciptaan. Yang tidak terbatas kini harus terkungkung dalam tubuh yang lemah dan terbatas. Ia yang setiap waktu dipuji dan disembah oleh para malaikat di sorga sekarang harus siap menerima umpatan, caci maki dan hinaan dari manusia, makhluk yang dulu dibentuk-Nya dengan kasih dan kehati-hatian. Bangsa kita yang terus menerus dilanda teror dan musibah telah memakan korban jiwa yang tidak terhitung, belum lagi ditambah dengan krisis multidimensi (moral, keamanan, ekonomi, kepercayaan, dll) yang belum terselesaikan membutuhkan campur tangan kita semua. Pengorbanan diri kita untuk membagikan kelebihan kita kepada mereka yang kekurangan melalui badan-badan sosial atau gereja disertai dengan pengolahan yang benar, maupun sumbangan pikiran/ide sangat efektif menolong bangsa ini. Inisiatif kita untuk menanggalkan seluruh keberadaan yang kita banggakan dan turut terjun membagikan kasih kepada sesama merupakan salah satu cara kita belajar untuk menjadi semakin seperti Kristus.

Kesederhanaan. Ketika Ia turun ke dalam dunia Ia tidak memilih keluarga raja ataupun istana sebagai tempat kelahiran-Nya, walaupun sebenarnya Ia mampu. Tetapi Ia memilih sebuah keluarga yang sederhana yang hanya mampu membawa sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati pada saat mengantar anak mereka untuk disunat dan diberi nama. Kesederhanaan menjadi tantangan tersendiri bagi kita kaum remaja. Sebagai rtemaja, kita telah terbiasa membiarkan pikiran kita dibentuk bukan oleh firman tetapi oleh media-media hiburan seperti TV dan film-film di bioskop. Di mana kemewahah, kenikmatan, dan gengsi menjadi tujuan utama yang kita kejar. Bukankah kita kerap membelanjakan uang kita bukan karena need (butuh) tetapi lebih dikarenakan kita want (mau)? Perstiwa Natal telah terjadi dalam suasana yang sederhana dan memprihatinkan. Tetapi mengapa sekarang kita cenderung merayakannya dengan suasana yang sebaliknya?

Natal mula-mula menjadi bermakna karena adanya perubahan, transformasi dan reformasi yang dikerjakan Yesus. Manusia dari musuh Allah didamaikan dengan Allah (2 Korintus 5); dari suasana ketakutan menjadi suasana yang damai, orang-orang dengan keadaan yang tidak memiliki masa depan kini menjadi orang yang berpengharapan (Lukas 2 dan Yohanes 1)

Oleh karena itu, sukses kita merayakan Natal bukanlah soal kegemerlapan, bukan soal acara; melainkan soal komitmen perubahan, komitmen pembaruan, dan komitmen melaukan apa yang telah Ia teladankan bagi kita. Berita Natal yang disampaikan oleh malaikat kepada gembala di padang -- Efrata adalah: Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Maha Tinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya (Lukas 2:14).

Pesan Natal datang kepada gembala yang di perkenan Tuhan, dan mereka yang diperkenan Tuhan mengalami damai sejahtera akan selalu memuliakan Tuhan. Oleh karena itu, hal pertama yang patut kita renungkan: Apakah perilaku saya, apakah perilaku masyarakat dan bangsa saya berkenan kepada Tuhan? Kalau belum, maka damai sejahtera itu akan jauh dari kita. Kalau hidup kita pribadi, kalau bangsa kita tak peduli untuk mempermuliakan Tuhan, maka apakah artinya Natal tahun ini? Kalau ya, ternyata Natal tahun ini telah membawa perubahan bagi kita, perubahan yang di perkenan Allah dan perubahan yang akan memuliakan Allah.

Sumber: Buletin Shining Star (GKI Gunung Sahari), Desember 2002, hal.1-3