Hadiah Malam Natal

Pada tanggal 24 Desember telepon rumah kami di California berdering.

"Halo," sapa saya.

"Hadiah Malam Natal!" terdengar suara dari Forth Worth, Texas.

"Oh, Bibi Butis, Bibi menangkap basah saya! Bibi menang!" ujar saya.

Hadiah Malam Natal! Hadiah Malam Natal! Kenangan-kenangan masa kanak-kanak kembali muncul dalam benak saya. Ini adalah permainan khas di keluarga kami. Nenek kami mengajarkan sebuah tradisi keluarga bahwa jika ada yang meneriakkan kalimat tersebut pada hari yang tepat maka ia berhak menerima hadiah.

Kesenangannya adalah, tentu saja, ketika berhasil memergoki orang lain, meneriakkan kalimat tersebut lebih dulu dan memperoleh hadiah.

Keluarga nenek terlalu miskin untuk memberikan hadiah-hadiah, maka mereka melakukan permainan ini untuk bersenang-senang. Ibu berhasil mengajak kakak saya, Kay, dan saya untuk ikut dalam tradisi ini. Kay yang lebih tua 10 tahun dari saya biasanya menang. Tetapi, pada suatu kali saya bangun lebih dulu karena kemarin ia terpaksa pulang larut malam. Saya pun mengendap-endap ke kamarnya yang masih gelap, membangunkannya, dan berteriak, "Hadiah Malam Natal!" sekuat-kuatnya. Sejak itu pertarungan menjadi semakin berimbang.

Pada Natal itulah saya bertanya kepada Ibu, "Mengapa kita tidak memberi hadiah Natal?" Saya merasa bahwa permainan tersebut akan lebih menyenangkan jika ada tambahan seperti itu.

"Oh, kita telah memberikan banyak hadiah," jawab Ibu. "Tetapi, ini adalah hadiah yang spesial. Hadiah ini tidak akan hilang saat tanggal 26 Desember, dan tak seorang pun, termasuk kakak, dapat memintanya darimu. Ini adalah hadiah yang abadi. Karena, hadiah yang kita terima adalah kasih sayang."

Ia tersenyum dan merangkul saya, tetapi saat itu saya masih kecil dan kecewa terhadap jawaban tersebut. Tetapi, saya cukup dewasa untuk menyadari bahwa saya tidak dapat berargumen pada Ibu.

Bahkan saat Kay dan saya telah beranjak dewasa dan menikah, kami tetap terus melakukan permainan tersebut. Tetapi kemudian Ibu meninggal pada bulan September. Dalam keadaan kaget dan berduka, kami tidak berminat untuk memainkan permainan tersebut tahun itu. Tradisi tersebut mati, terlupakan sampai hari ini. Sekarang adik Ibu saya melakukan permainan tersebut terhadap saya, dan saya merasakan kehangatan yang lembut.

Ketika usai berbicara, saya meletakkan gagang telepon dan memikirkan betapa keluarga kami saling menunjukkan kasih sayang melalui kalimat tersebut. Kemudian, saya kembali mengangkat gagang telepon dan menelepon Ayah.

"Hadiah Malam Natal, Ayah!" saya berteriak.

Dalam keheningan setelah saya meneriakkan kalimat tersebut saya tahu bahwa Ayah pun sedang mengingat kembali kenangan-kenangan tersebut. Ia terdengar sangat senang ketika akhirnya menjawab.

"Ayah juga mengasihimu, Sayang" ucap Ayah. "Hadiah Malam Natal!"

Kehangatan menyebar dan melingkupi saya. Sekali lagi saya menerima hadiah spesial itu.

Diambil dari:

Judul asli buku : Guideposts for The Spirit: Christmas Stories of Faith
Judul buku terjemahan : Guideposts bagi Jiwa: Kisah-kisah Iman Ntal
Penulis artikel : Dee Ann Palmer
Penerjemah : Mary N. Rondonuwu
Penerbit : Gospel Press, Batam 2006
Halaman : 89 -- 92