Hadiah Tanpa Diskon, Hadiah Tanpa Bau Toko

Dikirim oleh: Yvonne Sumilat (sumilatxxx@xxx)

Tibalah bulan Desember,
Belum pernah dilakukan survei, tetapi sebagian ibu-ibu dengan sengaja meluangkan waktu untuk mengunjungi butik dan mal. Dengan tujuan untuk mencari, atau lebih tepatnya membeli baju baru. 'Diskon' menjadi kata kunci keberuntungan yang mengetuk sejuta senyum lebar. Ayo Kaum Hawa....., Engkau jangan pura-pura alergi dengan kata sihir 'diskon'. Karena itu sungguh-sungguh akan menyihirmu menjadi lebih cantik bahkan sangat cantik.

Sebagian ibu-ibu menekankan pada poin 'baru'. Yang penting 'baru'. Sehingga acapkali terlihat kurang arif bahkan sembarang saja memilih warna dan modelnya. Untuk ibu-ibu yang 'rewel' (baca: hati-hati) mau tampil dengan standar yang tinggi. Mereka tidak boleh kelihatan sembarangan. Kalau bisa, terlihat seanggun mungkin, kata orang elegant.

Ketika itu sungguh-sungguh terjadi maka engkau teringat akan nama-nama Cinderella, Putri Salju, Ratu Elizabeth, Lady Diana atau siapalah...... Pujian yang kau harapkan bukanlah dari Kaum Adam tetapi dari wanita-wanita lain di sekelilingmu. Lalu engkau pulang dengan mengantongi komplimen.

Ha....ha.....sesungguhnya itu mengingatkan pada masa remaja saya,
Itu adalah pengalaman bersama almarhumah mami saya. Setiap inci keputusan beliau selalu mengundang rasa kagum dari semua anak-anaknya. Keputusan-keputusan kecil, perkara sehari-hari hingga pilar-pilar kehidupan tidak ada yang tanpa hikmat arifnya.

Setiap bulan Oktober mami saya mencari waktu untuk ke toko kain. Dia memilih-milih warna dan motif yang sesuai dengan seleranya. Tidak sembarangan tetapi bukan berarti rewel. Tidak perlu waktu yang panjang lebar untuk dia menemukan apa yang dia rasa cocok untuk dirinya. Sssstttttt ......, sekarang saya berteori bahwa wawasan seseorang mempengaruhi standar rasa dan selera.

Ketika itu saya masih belia. Jujur, saya tidak punya poin apa pun sebagai acuan untuk saya memilih kain. Keluar masuk toko kain, saya hanya membawa 'rasa' saja. Dan celakanya saya tidak bisa mendiskripsikan 'rasa' saya. Maunya seperti apa, saya juga tidak bisa menjelaskan.

Dengan kesabaran mami saya membuntuti saya. "Hah????? Toko kain sebesar ini..... tidak ada satu kain pun yang menarik????" Mungkin demikian pikiran mami saya. Walaupun karakter mami saya keras tetapi dia tidak memaksakan seleranya. Dari toko kain yang terbesar kami berpindah ke toko kain yang lain. Lalu toko kain sebelahnya dan sebelahnya lagi... Sampai semua toko kain sepanjang Pecinan Kota Malang sudah kami susuri. Sepertinya saya mencari-cari apa-apa yang tidak ada. Akhirnya, saya memilih satu kain warna pastel. Keputusan saya ambil karena setidaknya saya tahu diri dengan tidak membuat acara belanja itu menjadi percuma.

Setibanya di rumah rasanya capai sekali. Bagaimana tidak? Tidak terhitung lagi berapa toko kain yang sudah kami jelajahi. Dulu kerewelan saya itu sudah 'menyiksa' mami saya beberapa kali. Tetapi, sekarang saya 'bertobat'. Bertobat karena apa? Karena dukungan dari teman-teman di sekitar saya. Merekalah yang mengikis kerewelan saya. Jika saya memakai baju ini, saya dikagumi. Jika saya memakai baju itu, saya dipuji. Ternyata ada banyak macam baju yang pantas untuk saya. Baiklah kalau begitu, saya tidak perlu lagi mencari apa-apa yang tidak ada. Saya mau menikmati apa yang ada.

Mami saya sudah menyiapkan baju Natal sedari Oktober. Kain yang sudah dibeli dibawa ke penjahit dengan perhitungan bahwa awal Desember sudah siap baju baru. Sama sekali tidak ada kesan 'buru-buru' ataupun 'asal-asalan'. Ayo Ibu-ibu...., acungkan tangan ......, "Siapa yang sadar waktu seperti mami saya??????"

Senyum kagum di hati saya berkembang seraya saya teringat akan orang Majus dari Timur yang tidak buru-buru, yang tidak asal-asalan, yang ada persiapan.

Bulan Desember tiba...... Banyak kali saya tidak sadar waktu dengan seribu satu alasan. Dan ini adalah bulan Desember untuk ke sekian belas kalinya. Sekarang sudah tidak ada lagi mami yang sadar waktu dan mami yang rajin mendandani saya. Seharusnya saya sadar waktu sendiri dan seharusnya saya bisa mendandani diri sendiri. Tetapi entahlah, selalu ada alasan, dan selalu tidak ada baju baru. Apakah tidak bisa membeli kain? Oooooo.....tidak, tidak perlu beli kain. Di lemari saya masih ada beberapa potong kain adi, maksudnya kain-kain yang baik dan berkualitas. Kain-kain kerawang khas Manado-Gorontalo. Kain-kain yang saya apresiasi. Ada warna biru dongker, ada jambon tua, ada juga sifon hitam dan biru menyala. Tetapi kaki saya selalu lalai untuk melangkah ke rumah penjahit.

Beberapa waktu yang lalu saya menemukan pakaian tua, umurnya 20 setengah tahun. Benar-benar tua, kan??? Pakaian itu saya gunakan persis sehari menjelang acara wisuda di SAAT Malang. Saya suka melihatnya dengan seribu pesimis bahwa itu tidak bakalan cukup untuk saya pakai lagi. Itu ukuran badan saya 20 tahun yang lalu, tepatnya 1994.

Pakaian itu tidak dibeli di toko. Seorang penjahit di Tasikmalaya memotong kain tenun merah bata keunguan untuk menjadikannya sebuah baju. Panjangnya tiga perempat tinggi badan saya, lengan pendek dan tanpa krah. Dengan model yang sangat simpel sebagai pilihan saya sendiri. Motif tenunnya menjadi menonjol dan terlihat utuh.

Mata saya hanya memandang pakaian tua itu dengan kekaguman. Juga dengan kegembiraan. Gembira bisa melihat pakaian itu lagi. Pikiran saya punya sebulat kepastian. Pasti tidak cukup. Pasti tidak cukup. Pakaian itu saya lipat saja dan simpan di tas pakaian karena kebetulan lemari pakaian sedang penuh.

Di kantor ada dekorasi Natal untuk kepentingan foto booth. Teman-teman kantor sudah memanfaatkan foto booth itu. Dan jika saya bertemu teman kantor, beberapa kali pertanyaan dilemparkan kepada saya, "Bu Ivon sudah foto?". Beberapa kali saya menjawab pertanyaan yang sama itu dengan jawaban yang sama, "Belum..."

"Dekorasinya bagus, lalu saya mau pakai baju apa???" Berlanjut, "Masa saya mau pakai baju hari-hari???" itu pikiran saya. Baju baru tidak punya.

Oooooo..... ada ide!!!! Lalu selanjutnya saya iseng saja untuk sekedar mencoba si baju tua itu walaupun masih sangat pesimis dengan ukurannya. Dengan rasa setengah putus asa.

Kau tahu apa yang terjadi?..... Kok bisa???????? Kok bisa???? Pakaian itu bisa muat dan pas di badan saya tanpa rasa sesak sedikitpun. Aneh.... sungguh-sungguh aneh. Saya sungguh-sungguh tersenyum lebar.

Ya syukurlah ada pakaian yang layak untuk berfoto di kantor dengan setting Christmas. Karena memang saya tidak ada persiapan baju baru.

Tidak ada persiapan baju baru karena alasan utama adalah tidak sadar waktu alias lalai. Sebenarnya kesalahan itu ada jalan keluarnya, yaitu sekarang beli saja di toko. Kalau pergi ke penjahit, itu pasti tidak cukup waktu. Kalau membeli di toko, paling perlu waktu satu dua jam saja. Ha...ha.... tetapi untuk membeli baju baru juga tidak bisa.

Awal Desember dari sana sini berdatangan permohonan. Permohonan persembahan Natal. Memberi persembahan Natal di sana, dan di sini, dan di sana sini. Dan anak-anak minta kado untuk acara tukar kado. Memang tak baiklah memberi tahu tangan kiri apa yang tangan kanan berikan. Bagi orang sederhana persembahan Natal sama persis dengan persembahan iman. Taruhannya bisa-bisa urusan perut seisi keluarga.

Saya hendak menyampaikan dua happy ending,
Happy ending pertama,
dengan mata kagum, teman kantor memberikan komplimen atas baju tenun, si baju tua. Baju tanpa diskon. Baju tanpa bau toko.

Happy ending ke dua,
Hari Sabtu, dua hari lalu saya kehabisan uang belanja dan syukurlah tepat hari itu saya mengantar kardigan pesanan seorang ibu cantik dan dia langsung membayarnya. Saya bersyukur karena itu bisa menyambung hidup beberapa hari. Puji Tuhan!!!!! Juga ada duit untuk beli benang lagi. Puji Tuhan!

Jika persembahan Natal sama persis dengan persembahan iman maka Tuhan juga bertindak sama persis. Dulu ada Abraham. Sekarang juga ada. Dulu ada domba ganti Ishak. Sekarang juga ada. Puji Tuhan!!!!

Kemarin Minggu ibu cantik itu ke gereja GKT Pahlawan Trip dan memakai kardigan itu, warnanya coklat. Baju tanpa diskon. Baju tanpa bau toko. Saya senang melihatnya. Dengan hati-hati dan segenap perasaan saya merajutnya. Agar layak dipakai bahkan dalam suasana Natal. Mengecap buah karya adalah sebutir kebahagiaan, bukan?

Lupakan si baju tua itu. Lupakan kardigan coklat itu. Itu bukan apa-apa. Itu tidak penting, kendati saya sudah berpanjang lebar. Sekarang saya bertanya,
Apakah Anda tahu, hadiah apa yang tanpa diskon?
Apakah Anda tahu, hadiah apa yang tanpa bau toko?

Jawabannya bukan si baju tua itu. Jawabannya juga bukan kardigan coklat itu.
Bayi Yesus Kristus adalah hadiah yang sangat mulia, hadiah tanpa diskon. Betapa kita bergembira karenanya. Betapa kita tersanjung karenanya.
Bayi Yesus Kristus adalah hadiah yang sangat mulia, hadiah tanpa bau toko. Betapa kita bersukacita karenanya. Betapa kita terhormat karenanya.

Happy Christmas!

Yvonne Sumilat, 15 Desember 2014