Tradisi "Tamale"

Sehari sebelum Natal merupakan hari yang kacau bagi kakak perempuanku, Carmen. Ia seorang perawat sekolah yang penuh dedikasi. Meskipun murid-murid sedang liburan, orang tua mereka tidak libur. Para orangtua murid datang ke sekolah untuk menemui para pejabat kesehatan sekolah dan negara bagian secara berbondong-bondong. Mereka marah dan khawatir serta meminta agar sekolah mengeluarkan seorang murid karena menderita suatu penyakit menular.

Sekitar 100 orangtua memenuhi ruang makan. Ada yang duduk, berdiri, dan ada pula yang berkerumun. Mereka meneriakkan ancaman-ancaman untuk mengeluarkan anak-anak mereka jika masalahnya tidak segera diselesaikan. Keadaan mereka yang emosional sangat memengaruhi suasana. Ini membuatku khawatir terhadap kakak perempuanku. Aku segera mengerti mengapa aku berada di sana. Aku justru tidak berbelanja untuk keperluan Natal pada saat yang terakhir. Kakak perempuanku membutuhkanku.

Ruangan itu sama sekali tidak menampakkan keceriaan hari raya. Sebenarnya, satu-satunya sorak-sorai ialah irama buruk yang diteriakkan oleh para orangtua secara berulang-ulang, yakni "Tahun Baru, pergilah Kaye!" Kaye adalah murid kelas 3 yang mengidap penyakit menular itu. Perdebatan itu berlarut-larut sampai senja.

Sebenarnya, penyakit yang diderita oleh Kaye tidak akan menular jika ada tindakan medis yang preventif dari murid-murid lain yang sehat. Karena tidak berhasil meyakinkan orang banyak dan juga akibat perdebatan yang melelahkan, pimpinan meminta istirahat 15 menit. Aku meloncat dari tempat dudukku di baris depan untuk mendampingi kakak perempuanku. Ini kulakukan untuk mencegah andaikata para orangtua yang marah itu mendekatinya selama waktu istirahat. Tentu saja, beberapa orang melakukan hal itu. Aku segera mengantar kakak perempuanku ke dalam celah dapur dan mengunci pintu di belakang kami.

"Hal yang kulakukan sepintas mirip kejadian pada masa kecil kita, tetapi ini kebalikannya," kataku sambil mengedipkan mata pada kakak perempuanku yang paling tua dan paling berpendidikan. Kami dibesarkan di daerah miskin yang dihuni oleh masyarakat yang berbahasa Spanyol di Amerika Serikat. Kami berbagi banyak kenangan masa kecil ketika kami harus tetap bersatu untuk mempertahankan kelangsungan persaudaraan. Kami tertawa bersama-sama dan menikmati rasa lega sesaat di tengah ketegangan hari itu.

Kakakku melihat ke arlojinya. "Pukul 17.45! Mengapa kita bisa terlambat untuk belanja? Pasar tutup pukul 18.00! Ini," katanya sambil menyodorkan sejumlah besar uang kertas ke dalam tanganku, "pergilah dan beli adonan tamale (sejenis makanan asal Meksiko) untukku. Malam nanti adalah malam tamale."

"Tetapi, aku tak bisa meninggalkanmu sendiri di sini!" aku membantah.

"Tak ada waktu untuk berbantah-bantahan, adik kecil," katanya. "Malam nanti adalah malam tamale. Kamu tahu, tanpa tamale bagaikan tidak ada Natal. Sekarang, pergilah!"

Meskipun enggan, akhirnya aku pergi. Aku enggan untuk meninggalkannya sendiri dengan sekumpulan orangtua yang bersikap memusuhi. Aku pun enggan untuk mencari pasar yang sesuai dengan permintaannya. Kakakku tinggal di satu bagian kota, sedangkan aku tinggal di bagian kota yang lain. Di mana letak toko yang dimaksudnya? Apakah yang dimaksudnya adalah Pasar Jessie? Atau, Pasar Yesus? Menurutku, pasti Yesus (dalam bahasa Spanyol diucapkan hey-sus) karena Yesus adalah nama yang istimewa dan sangat disukai dalam budaya kami. Jadi, aku pergi dalam suasana malam Natal yang dingin. Aku berada di bagian kota yang tidak kukenal. Yang pasti, itu tidak menyenangkan. Aku mengkhawatirkan keamanan kakakku dan diriku sendiri. Dengan kata-kata "Tidak ada Natal tanpa tamale" sebagai pelecut semangatku, aku pergi untuk mencari adonan di kota itu pada malam hari.

Oh, betapa aku tahu betul tradisi tamale. Sebagai kakak tertua dari tujuh bersaudara, Carmen mempunyai keharusan menjadi nyonya rumah untuk peristiwa tahunan itu. Untunglah, aku yang paling muda dan tidak akan pernah mendapat tugas! Menurut perhitunganku, Carmen telah melakukan tugas ini selama 25 kali perayaan Natal secara berturut-turut. Mengapa ia terus melakukan rutinitas ini? Yah, karena mereka yang pernah mencicipi rasa tamale yang asli dapat membuktikan kesenangannya untuk melakukan tradisi itu secara berulang-ulang. Kakakku adalah wanita yang menjadi kepala keluarga, mereka sangat terikat pada tradisi ini.

Dengan berlandaskan cinta yang tulus, mereka yang menjunjung tinggi tradisi tamale melewatkan waktu berjam-jam untuk berbelanja bahan-bahan yang tepat. Mereka juga membutuhkan waktu berjam-jam untuk mengukur, mengaduk, dan memasak tamale Natal yang asli. Setiap tahun, para keluarga datang pada saat yang tepat ketika aroma daging yang bertabur cabai memenuhi dapur. Sepertinya, mereka mempunyai naluri tamale yang terasah secara halus. Para kakek, nenek, orangtua, dan anak-anak menunggu tamale pertama yang menggelinding ke luar dari deretannya. Mereka berpenampilan seperti bangsawan dengan mengenakan pakaian yang berhiaskan kain taf (sejenis kain sutera) Natal keemasan dan beludru merah serta hitam. Lebih dari sekadar mengenyangkan perut kami, tradisi tamale memenuhi jiwa kami dengan suatu cinta untuk melakukan reuni dengan keluarga. Tradisi ini diwarnai dengan pelukan yang hangat dan erat. Mata orangtua dan anak muda menatap pada hadiah-hadiah yang dibungkus secara rapi di bawah pohon Natal. Anak-anak kecil berkumpul di tempat kelahiran Kristus. Mereka menggendong bayi Yesus yang kecil secara bergiliran. Semua orang disegarkan kembali oleh pembaruan hubungan antarkeluarga. Mereka meninggalkan malam tamale dengan perasaan memiliki yang sudah diperbarui. Bagi kami, ini merupakan perasaan yang sangat penting di tengah kehidupan pribadi yang sangat sibuk saat ini.

Jadi, aku berkendaraan di jalan-jalan yang tak kukenal agar tradisi kami tak putus. Setelah mengelilingi deretan gedung-gedung sebanyak tiga kali, akhirnya aku menemukan sudut jalan dan gang yang digambarkan oleh kakakku. Ini pasti tempat yang dimaksud oleh kakakku. Aku memarkir mobilku di pinggir jalan dan berlari ke pintu toko. Ketika aku meraih pegangan pintu, aku memandang ke atas. Waktu itu, aku melihat tanda TUTUP yang besar dan berwarna jingga terayun-ayun di jendela. Ternyata, saat itu sudah lebih dari pukul 18.00.

Aku menggedor pintu karena aku harus mendapatkan adonan tamale itu! Tanpa tamale tidak ada Natal! Lewat pintu kaca, aku dapat melihat ke dalam toko secara jelas. Dua gadis berusia belasan tahun berdiri bersama-sama di belakang meja kasir. Mereka sedang menghitung uang pada mesin kas tua. Dengan nada marah, mereka memandangku dan menggeleng-gelengkan kepada dengan gerakan mulut yang mengucapkan, "Kami sudah tutup." Ucapan itu mereka sampaikan sebelum mereka menghindari pandanganku. Ada ada dengan gadis-gadis ini? Apakah mereka tidak tahu tentang tradisi tamale? Tidak pedulikan mereka? Mereka tidak peduli pada ketukan pintu untuk membeli adonan tamale dari seorang wanita yang terikat pada tradisi tamale. Kedua gadis itu ingin segera keluar malam bersama pacar mereka, siapa yang membutuhkan tradisi pada malam yang istimewa seperti Malam Natal? Seorang gadis melintasi ruangan dan menurunkan tirai untuk menutup jendela. Selamat tinggal, wanita tua.

Aku terduduk lunglai di tepi jalan yang tertutup es di depan pintu. Aku gagal. Tradisi tamale akan berakhir karena diriku. Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki. Mereka seakan-akan datang di jalan yang gelap secara tiba-tiba. Masalah! Aku berusaha berdiri dan siap untuk berlari kembali ke mobilku. Seorang pria yang tinggi serta kurus dan berjenggot berdiri pada jarak dua lengan jauhnya dariku. Aku berdoa dalam hati, "Tolonglah aku, Tuhan." Pria itu memerhatikanku tanpa berkata apa-apa. Akhirnya ia bertanya kepadaku dalam bahasa Spanyol, "Que pasa, miya?" (Apa yang terjadi, Anakku?)

Tangisku meledak ketika aku menceritakan kemalanganku sepanjang sore. Aku membuang ingus pada tiap akhir kalimat dan mengakhiri dengan "... dan tanpa tamale bukanlah Natal!"

Tanpa sepatah kata pun, pria kurus itu mengulurkan tangan ke sakunya dan mengeluarkan serangkaian anak kunci. Ia membuka pintu dengan kunci dan menguakkan pintu itu untukku agar aku bisa masuk. "Jangan khawatir, Anakku. Aku akan menolongmu. Bagaimanapun juga, kamu akan mendapat tamalemu. Akulah Yesus."

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul asli buku : The Magic of Christmas Miracles
Judul buku terjemahan : The Magic of Christmas Miracles - Koleksi Kisah-kisah Nyata Terbaru yang Sangat Memberikan Inspirasi
Penulis artikel : Bettina Flores
Penerjemah : Bambang Soemantri
Penerbit : PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta 2002
Halaman : 34 -- 39