Natal dengan Sebuah Kursi Kosong

Ketika Liburan Tidak Lagi Sama

Kakek saya tidak lagi di sini untuk Natal.

Saya hampir tidak ingat Natal tanpa dia, tetapi sekarang ketidakhadirannya menjadi normal baru. Kami tidak lagi berkumpul di ruang tamunya untuk membaca kisah Lukas tentang kelahiran Yesus, menyanyikan Joy to the World ("Hai Dunia, Gembiralah" -- Red.), membuka hadiah bersama, atau makan malam Natal yang disiapkannya. Kursinya, yang dahulu begitu penuh kasih sayang, tawa yang menular, dan ketenangan yang sopan, sekarang duduk diam, penuh kenangan.

Sensasi baru sekarang makan bersama saya selama waktu favorit saya sepanjang tahun. Saat meja makan dipenuhi dengan wajah-wajah baru, senyuman-senyuman baru, dan bayi yang baru lahir, nostalgia Natal masa lalu terungkap di latar belakang. Di sini, lebih daripada di tempat atau waktu lain, hari-hari masa lalu dan hari-hari saat ini bertemu. Di sini, saya melihat pemandangan liburan yang segar dengan mata tua. Begitu banyak yang sama, dan begitu banyak yang berbeda.

Kehilangan membuat saya semakin tua.

Natal bukan tentang keluarga di sekitar meja makan, tetapi tentang Yesus.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Saya melihat sekeliling meja ke mata anak-anak yang cerah, dan melihat kegembiraan tanpa beban. Natal yang mereka kenal adalah sama hari ini. Mereka tidak bisa melihat apa yang orang tua mereka lihat. Mereka tidak dapat mendeteksi wajah-wajah bercahaya lembut atau mendengar suara-suara yang tak terucapkan. Bagi mereka, kursi bukan kosong, itu belum ditempati. Mereka tidak tahu rasa pedih dalam perayaan kami, luka yang tidak pernah sembuh sepenuhnya.

Saya sekarang mengenal Natal seperti yang dirasakan kakek saya selama bertahun-tahun -- sebagai campuran antara kegembiraan dan kesedihan, rasa syukur dan penyesalan, Natal sekarang dan Natal masa lalu. Saya tidak dapat membedakan orang lain yang makan bersama kami di sekitar meja dari kehidupan lain yang lalu -- orang tua, teman, istri tercinta. Saya tidak pernah menyadari Natalnya diisi dengan lebih dari sekadar Natal yang satu itu. Sekarang, saya melihat dimensi yang tak terucapkan. Saya lebih memahami senyum yang bijak itu, lebih penuh, tetapi lebih sedih daripada sebelumnya.

Cukuplah untuk mengatakan, Natal pada hari-hari ini tidak persis sama.

Meninggalkan yang Lama?

Dengan pengalaman baru Natal dengan sebuah kursi kosong ini, muncul bahaya dan godaan tertentu.

Yesus pernah memperingatkan tentang menjahit secarik kain baru ke pakaian lama; atau memasukkan anggur baru ke dalam kantong kulit yang lama. Kantong-kantong anggur bisa pecah, Dia mengajar; kainnya bisa sobek. Namun, di sinilah kita. Mengingat pria atau wanita yang telah tiada, yang baru ditambal ke yang lama; anggur baru dituangkan ke dalam kantong anggur keluarga lama.

Mungkin Anda bisa merasakan hal ini. Tekanan saat duduk dan makan dan bernyanyi di tempat dia pernah duduk dan makan dan bernyanyi dapat menyayat hati. Anda mungkin telah kehilangan lebih dari seorang kakek. Ketegangan kesedihan yang Anda rasakan semasa liburan cukup banyak mengacaukan. Pasangan yang namanya tertulis di perhiasan itu sudah tidak ada lagi di sini. Satu kaus kaki tidak ada. Anak terkasih yang Anda lihat berlarian menuruni tangga pada pagi Natal belum turun selama beberapa tahun sekarang. Natal, di sisi surga ini, tidak akan pernah sama.

Saya tidak berpura-pura mengetahui kedalaman dari keputusasaan. Namun, saya tahu godaan ganda yang mendekati kita yang pernah kehilangan seseorang. Saya berharap bahwa menyebutkan hal-hal tersebut dapat membantu Anda pada Natal ini.

Masa Lalu Menelan Masa Kini

Godaan pertama adalah berbagai duka yang merenggut kita dari kehidupan hari ini. Rasa pedih yang tak berdasar ini datang ketika kita mulai menatap dan menatap kursi yang kosong. Kesedihan menguasai semua kegembiraan; masa lalu menelan masa kini. Hal-hal menyenangkan yang terjadi sekarang bukanlah hal-hal menyenangkan seperti yang dahulu, sehingga semua sumber kebahagiaan saat ini menjadi hancur atau terlupakan.

Ini adalah melangkah melampaui kesedihan yang sehat dan ingatan akan kehilangan kita. Itu meracuni hati dengan mengalihkan pertanyaan orang bijak yang meminta kita untuk: "Jangan berkata," dia memperingatkan, "'Mengapa hari-hari sebelumnya lebih baik daripada ini?" Karena, lanjutnya, "bukan dari hikmat kamu mengatakannya" (Pengkhotbah 7:10, AYT). Kesedihan ini meracuni apa yang ada saat ini dengan apa yang ada dahulu. Ini menghambat kemampuan untuk melanjutkan.

Kesedihan mengancam untuk mengunci kita di ruang bawah tanah yang gelap pada masa lalu, mencegah kita menikmati anak bermain-main di lantai atau wajah-wajah baru di sekeliling meja.

Rasa Bersalah di Atas Bahu

Kedua adalah godaan untuk tunduk pada rasa bersalah yang membebani kita. Lewis menangkap ini dalam A Grief Observed:

Tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal saya "merasa lebih baik," dan bersama dengan itu muncul semacam rasa gelisah, dan perasaan bahwa seseorang ditekan oleh semacam kewajiban untuk melekat dan menggerakkan dan memperpanjang ketidakbahagiaannya. (53)

Godaan ini melihat kursi kosong mengerutkan kening pada kita. "Mengapa kamu tidak lebih bersedih? Bagaimana Natal masih bisa meriah? Bukankah kamu mencintainya?" Kenangan itu, tidak tertinggal di tempat yang semestinya, membayangi bahu kita, berpatroli pada kebahagiaan kita pada masa sekarang. Rasa bersalah ini adalah penyakit yang menggoda kita untuk membenci keadaan yang baik.

Jadi, kursi kosong dapat mengancam untuk menghancurkan semua kegembiraan pada Natal ini atau membuat kita merasa bersalah karena merasakan sukacita apa pun di Natal ini -- keduanya harus dilawan.

Menepis Awan Kesedihan

Jadi, apa yang kita lakukan? Di sana terletak kursi kosong.

Melawan kedua godaan, saya perlu mengingatkan diri sendiri: Natal bukan tentang keluarga di sekitar meja makan, tetapi tentang Yesus. Dan, Yesus telah berjanji bahwa bagi umat-Nya -- bagi kakek saya -- tidak hadir di meja Natal berarti hadir bersama Dia.

Saya bertanya pada diri sendiri, Haruskah saya berharap kakek saya kembali? Akankah saya, jika itu ada dalam kekuasaan saya, memanggilnya dari pesta itu, menyatukan kembali jiwanya dengan tubuhnya yang sakit -- membawanya kembali pada penyakit, kesepian, dosa -- memanggilnya dari surga Kristus sendiri ke perayaan bayangan Kristus di bumi?

Terkadang, saya setengah mempertimbangkannya.

Gambar: kursi kosong

Akan tetapi, saya tahu bahwa jika saya dapat berbicara dengannya sekarang, dia berharap saya ada di sana. Kursi kosong yang dirindukan surga untuk diisi bukan di sekitar makan malam Natal kita, tetapi kursi kosong yang mengelilingi Kristus. Tempat kita sudah disiapkan. Kehidupan yang lebih baik, kehidupan sesungguhnya, kehidupan sejati, kehidupan kekal terletak di dunia itu. Kursi kosong dari orang yang kita cintai yang pergi bukan hanya pengingat kehilangan, tetapi juga petunjuk untuk kesempurnaan yang akan datang.

Tempat bayang-bayang dan kegelapan ini, dosa dan Setan, kesedihan dan kematian, belum merupakan tempat untuk Reuni Bahagia itu. Perasaan Natal yang hampa mengingatkan saya bahwa hidup bukanlah apa yang seharusnya, tetapi itu juga dapat mengingatkan saya bahwa hidup bukanlah apa yang akan segera terjadi bagi semua orang yang percaya.

Yesus akan datang dalam Adven Kedua. Dia akan membuat segala sesuatu menjadi baru. Natal dengan kursi kosong terbatas jumlahnya; ini juga akan segera berlalu. Dan, kursi terbesar yang akan diduduki, kursi yang akan memulihkan segala sesuatu, dan membawa sukacita sejati bagi dunia, adalah Yesus Kristus, bayi yang pernah lahir di Betlehem, sekarang Raja yang memerintah alam semesta. Dia akan duduk dan makan bersama kita pada perjamuan kekal Anak Domba.

Dan, sampai saat itu, saat kita melakukan perjalanan melalui Natal sekarang dan yang akan datang, saya berdoa untuk diri saya sendiri dan untuk Anda,

Tepislah awan dosa dan kesedihan;
Singkirkan kegelapan keraguan;
Pemberi kebahagiaan kekal,
Penuhi kami dengan terang hari!

(t/Jing-Jing)

Audio: Natal dengan Sebuah Kursi Kosong

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Desiring God
Alamat situs : https://desiringgod.org/articles/christmas-with-an-empty-chair
Judul asli artikel : Christmas with an Empty Chair
Penulis artikel : Greg Morse