Sederhana Namun Tak Ternilai

Gigi Graham Tchividjian

Pernahkah Anda bertanya-tanya dalam hati bagaimana malam Natal yang pertama itu dirayakan? Apakah kerubim dan serafim -- para malaikat dengan tugas yang berbeda -- begitu sibuk mempersiapkan kedatangan Tuhan yang turun ke bumi dalam wujud bayi laki-laki?

Mungkin di suatu tempat di surga, para malaikat surgawi saat itu sibuk mempersiapkan pertunjukan yang luar biasa untuk dinyatakan kepada para gembala. Sementara, malaikat lain menyusun rencana untuk menampakkan sebuah bintang khusus yang akan menuntun orang-orang majus. Mungkin pula, malaikat lainnya sedang mengawasi Yusuf dan Maria tatkala mereka sedang menuju kandang domba.

Tentu saja, kita takkan pernah tahu dengan pasti apa yang sesungguhnya terjadi, namun yang kita ketahui adalah bahwa ketika semua telah siap, "Allah mengutus Anak-Nya" (Galatia 4:4). Dan semua penghuni surga berkumpul tatkala Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala tuhan itu menanggalkan kemuliaan-Nya, dan meletakkannya di bawah kaki sang Bapa sembari berkata, "Engkau telah menyediakan tubuh bagiku .... Sungguh, Aku datang ... untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku" (Ibrani 10:5,7).

Persiapan yang dilakukan di surga begitu rumit, namun orang-orang di dunia yang terlibat dalam Natal yang pertama itu menyambut-Nya dengan sederhana.

Hati dari beberapa orang yang tidak meremehkan Natal itu adalah Maria, Yusuf, para gembala, orang majus -- tampak sangat bersahaja. Tempat kelahiran-Nya pun sederhana, yakni sebuah kandang kecil di sebuah kota yang kecil pula. Perayaannya juga sederhana: para gembala, para pekerja keras meninggalkan pekerjaan mereka selama beberapa jam untuk pergi dan "melihat apa yang terjadi di sana" (Lukas 2:15). Setelah itu, mereka pun kembali pada tanggung jawab masing-masing.

Persembahan yang mereka berikan pun begitu sederhana, namun tak ternilai:

  • Yusuf mempersembahkan ketaatannya.
  • Maria mempersembahkan tubuhnya.
  • Para gembala mempersembahkan kasih mereka yang mendalam.
  • Para orang majus mempersembahkan penyembahan mereka.

Namun, pada saat yang sama ada juga orang-orang yang kehilangan makna Natal yang pertama:

  • Pemilik penginapan yang terlalu sibuk memperhatikan tamu-tamunya.
  • Para tamu yang terlalu memusatkan perhatian pada kenikmatan jasmani dan urusan pribadi, sehingga tak tersentuh oleh peristiwa yang terjadi di kandang domba itu.
  • Raja Herodes yang begitu larut dalam perasaan tidak nyamannya, istananya, dan impian-impiannya yang menyedihkan untuk menggapai kemuliaan.

Mereka semua terlalu sibuk, begitu terpaku, dan terlilit oleh berbagai hal.

Saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah dalam beberapa tahun terakhir ini saya juga telah kehilangan makna Natal yang sesungguhnya. Apakah saya terlalu sibuk dan terlalu dikuasai oleh hal-hal yang berbau materi dan pujian orang? Apakah saya terancam kehilangan makna Natal yang sejati? Saya kira Tuhan tak pernah menghendaki kita mengurangi kesenangan di hari Natal. Lagi pula, Dia sendiri telah "memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati" (1Timotius 6:17).

Mungkin, sebaiknya tahun ini, kita membuat daftar baru di hari Natal yang berisi:

  • Memberi lebih banyak perhatian kepada anak-anak.
  • Memberi lebih banyak waktu dan penghargaan kepada orangtua dan pasangan hidup.
  • Lebih mampu menerima tanpa syarat keberadaan anak-anak yang mulai beranjak remaja.
  • Lebih mengasihi dan memperhatikan teman-teman.

Lalu, bagaimana dengan hadiah kita bagi Pribadi yang ulang tahun-Nya kita rayakan? Yang diminta-Nya adalah penyerahan diri kita, dengan segala kesalahan dan kegagalan, masalah dan ketakutan. Dan inilah Natal yang sejati:

Allah memberi,
kita menerima,
Allah menggenapi.

Sungguh Natal yang penuh berkat!

Bahan diedit dari sumber:

Judul Buku : Embun Bagi Jiwa Natal
Penulis : Alice Gray
Penerbit : Gloria Gaffa, Yogyakarta, 2000
Halaman : 113 - 115