Refleksi Pasca Natal tentang Inkarnasi
Anugerah di Bawah Jembatan
Amerika memiliki banyak gereja besar yang gemerlap dengan lampu-lampu panggung dan sound system yang memekakkan telinga. Namun, salah satu gereja favorit saya tidak memiliki lampu semacam itu. Gereja saya bahkan tidak memiliki bangunan, panggung, lonceng atau peluit -- bahkan tidak ada pendeta yang dibayar secara khusus. Bahkan, gereja ini berada di bawah jembatan layang di I-35 dan Fourth Street di Waco, Texas. Gereja di Bawah Jembatan, demikian sebutannya, adalah potret yang kuat tentang inkarnasi -- Allah yang menjadi manusia.
Pada tahun 1992, Jimmy dan Janet Dorrell meninggalkan pinggiran kota untuk menjangkau beberapa tunawisma yang tinggal di bawah jembatan layang. Mereka mulai dengan memimpin pendalaman Alkitab dan memperhatikan kebutuhan praktis orang-orang yang ada di situ, dan seiring dengan bertambahnya jumlah jemaat, pasangan Dorrell akhirnya mendirikan sebuah gereja. Akan tetapi, mereka tidak memboyong semua orang kembali ke pinggiran kota tempat gereja asal mereka. Sebaliknya, mereka mendirikan gereja itu di tempat di jemaat mereka berada, di bawah jembatan.
Kini, ratusan orang dengan penampilan yang beragam berkumpul di gereja itu setiap hari Minggu untuk menyembah Yesus. Para pecandu yang baru sembuh, mahasiswa, pebisnis kaya, ibu-ibu tunawisma, dan pengemudi truk yang baru saja melewati gereja, semuanya berkumpul untuk merayakan kemenangan Yesus atas dosa mereka. -Gereja biasa yang menjadi kudus oleh Kehadiran-Nya -- adalah moto mereka, dan itu sangat masuk akal secara teologis. Asap rokok dan parfum murahan menguar di udara, dimurnikan oleh aura anugerah yang kental -- semuanya karena sepasang suami istri dari pinggiran kota yang memutuskan untuk berinkarnasi ke dalam kehidupan orang-orang di bawah jembatan itu.
Anugerah di dalam Palungan
Allah juga meninggalkan kediaman kosmik-Nya untuk menemui kita di bawah sebuah jembatan:
Yusuf meninggalkan Nazaret, kota di Galilea, dan menuju ke Yudea, ke kota Daud, yang bernama Betlehem karena dia berasal dari garis keturunan Daud supaya dia didaftarkan bersama dengan Maria, tunangannya, yang sedang hamil. Ketika Yusuf dan Maria berada di Betlehem, tibalah waktunya bagi Maria untuk melahirkan. Maka Maria pun melahirkan Anak laki-lakinya yang sulung. Maria membungkus-Nya dengan kain lampin dan membaringkan-Nya di dalam palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. (Lukas 2:4-7, AYT)
Kita begitu familier dengan cerita ini sehingga kita hampir tidak menyadari skandal yang terjadi di dalamnya. Namun, mari kita telaah skenario dari peristiwa ini. Maria ditemukan hamil di luar nikah dalam sebuah budaya yang tidak akan menoleransi perbuatan memalukan semacam itu, dan ceritanya tentang -- Roh Kudus -- hanya akan menambah cemoohan terhadap dirinya. Apa yang akan Anda katakan jika anak perempuan, saudara perempuan, pacar, atau istri Anda datang kepada Anda dengan cerita seperti itu? -Tidak, sungguh, Tuhanlah yang melakukannya. Saya mengatakan yang sebenarnya. Lihat, saya mendapat penglihatan ini ...-
Ya, yang benar saja.
Alih-alih merajam Maria, Yusuf memutuskan untuk menceraikan tunangannya itu. Akan tetapi, Allah menghentikan langkah Yusuf dan meyakinkannya bahwa cerita Maria tentang Roh Kudus itu benar adanya. Maka, Maria dan Yusuf menanggung rasa malu bersama setelah perut Maria semakin membesar dan semakin jelas terlihat oleh masyarakat sekitar.
Untungnya, pemerintah Romawi mengadakan sensus penduduk yang mengharuskan pasangan ini meninggalkan Nazaret dan pergi ke desa asal Yusuf; Betlehem. Tidak diragukan lagi, perjalanan yang berat itu memberikan jeda yang menenangkan dari rasa malu yang harus mereka tanggung di depan umum. Namun, ketika mereka tiba di Betlehem, mata yang menghakimi mereka kembali memandang dengan sinis dan skandal ini terus berlanjut.
Versi populer dari kisah Natal hanya mencerminkan sedikit kebenaran sejarah. Yesus kemungkinan besar tidak dilahirkan di "penginapan komersial", seperti yang disampaikan oleh terjemahan bahasa Inggris dari Lukas 2:7. Kata 'kataluma' yang terdapat pada ayat itu memang dapat merujuk kepada sebuah motel kuno, tetapi lebih lazim merujuk kepada sebuah kamar kosong di rumah-rumah orang Yahudi pada zaman itu, jadi sama sekali bukan sebuah "penginapan". Kemungkinan besar, tidak ada penginapan komersial di desa kecil seperti Betlehem, jadi "kamar kosong" adalah terjemahan terbaik untuk kata kataluma. Jadi, ketika Maria dan Yusuf mencari tempat singgah di kampung halaman mereka di Betlehem, hampir dipastikan mereka pergi ke rumah seorang kerabat Yusuf dan meminta izin untuk tinggal di 'kataluma' atau kamar kosong mereka.
"Maaf," kata kerabat itu, sambil mengamati lingkar pinggang Maria yang membesar.
"Tidak ada tempat di kataluma kami. Kamu harus tidur di luar bersama hewan-hewan."
"Tetapi, Pak," Yusuf memohon, "istriku akan segera melahirkan, dan ..."
"Tunangan, Yusuf! Dia tunanganmu, bukan istrimu," sela kerabatnya.
"Kamu boleh bermalam dengan binatang-binatang itu jika kamu mau, tetapi kamu tidak boleh tinggal di bawah atap rumahku."
Menawarkan keramahtamahan kepada pasangan yang belum menikah itu akan membuat kerabat mereka harus menanggung rasa malu yang sama. Jadi, Maria dan Yusuf tetap berada di luar, di halaman, tempat binatang-binatang itu ditempatkan pada malam hari.
Kemudian, persalinan pun dimulai. Kontraksi menusuk-nusuk perut Maria, sementara kegelisahan menggigil di tulang belakang Yusuf. Rasa sakit yang amat tajam mengalahkan bau busuk dari kotoran hewan yang menindih udara musim dingin yang mengigit. Dan, rasa malu akibat penolakan dan cemoohan ditenggelamkan oleh sukacita dari seorang anak yang baru lahir.
Tidak ada dokter, tidak ada peralatan medis, tidak ada sanitasi, dan tidak ada obat penghilang rasa sakit. Melahirkan pada abad pertama adalah peristiwa yang berisiko. Namun Allah menanggung rasa malu dan risiko, untuk membawa kita kembali ke Eden.
Ketika Maria mengerang dan mengejan, surga seakan-akan runtuh ke bumi, dan Yusuf menyambut Sang Putra Allah -- Mesias yang meremukkan kepala si ular, Anak yang tak berayah itu -- ke dalam pelukannya. Pertama-tama beberapa helai rambut, lalu kepala. Bahu dan lengan, tungkai dan kaki. Dia yang menciptakan bintang-bintang melewati jalan lahir manusia dan tiba ke dalam tangan Yusuf yang gugup. Yusuf memotong dan mengikat tali pusar-Nya, menyeka darah dari mata dan wajah anak itu, lalu membantu bayi yang tak berdaya itu untuk mengeluarkan cairan yang tersisa dari paru-parunya. Sambil menggendong keajaiban seberat tiga setengah kilogram ini, dia menyaksikan napas kehidupan mengembang di dada sang bayi, dan sebuah tangisan yang melengking menembus kesunyian malam sehingga membuat para domba ketakutan. Setelah menyusui anak itu untuk menenangkan rasa takut-Nya, Maria membungkus putranya -- Putra Allah -- dengan kain lampin, dan karena tidak ada tempat tidur bayi di dekatnya, dia membaringkan-Nya di palungan.
Sebuah palungan.
Dia yang menciptakan alam semesta dengan firman yang keluar dari mulut-Nya, yang memerintah bangsa-bangsa, yang mengatur sejarah, yang menciptakan Anda dan saya menurut gambar-Nya sendiri, memilih untuk dibaringkan dalam palungan, tempat hewan ternak memakan jerami dan biji-bijian. Dia yang menjadikan ribuan galaksi dan membentuk bumi kini menyusu pada ibunya, seorang gadis Yahudi yang belum menikah dan masih berusia tiga belas tahun di sebuah desa kecil, di provinsi terpencil Kekaisaran Romawi.
Yesus adalah seorang pemimpin agama, tetapi para pemimpin agama menolak Dia.
Yesus adalah seorang raja, tetapi para raja menolak Dia.
Yesus adalah seorang revolusioner, tetapi para revolusioner menolak Dia.
Yesus adalah manusia yang sempurna, tetapi manusia menolak Dia.
Anda menolak Dia, tetapi Dia menginginkan Anda. Kita diburu dan dikasihi oleh Allah dengan kasih yang begitu besar.
Dan, perburuan itu membawa-Nya ke sebuah palungan. (t/Jing-jing)
Sprinkle, Preston. Charis: God’s Scandalous Grace for Us, hlm. 133-137.
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Theology In The Raw |
Alamat artikel | : | https://theologyintheraw.com/post-christmas-reflections-on-the-incarnation/ |
Judul asli artikel | : | POST-CHRISTMAS REFLECTIONS ON THE INCARNATION |
Penulis artikel | : | Preston Sprinkle |