C. Kavin Rowe: Mengapa Natal membutuhkan Paskah

Kabar gembira dari Gabriel, para malaikat, nabi Simeon dan yang lainnya membawa sukacita karena kematian Yesus bukanlah akhir dari hidup mereka, tulis seorang ahli Perjanjian Baru.

Mungkin tampak aneh untuk menyarankan bahwa bagian dari memimpin dengan baik adalah membantu orang melihat hubungan antara Natal dan Paskah. Tetapi memang benar. Karena tanpa hubungan ini, orang-orang Kristen tidak memiliki alasan untuk bersukacita. Komersialisasi Natal kita mencoba untuk mengisolasi Natal, untuk membuatnya berdiri sendiri terpisah dari Paskah. Ini adalah resep yang hanya menghasilkan kesedihan.

Gambar: bersyukur

Tentu saja, berbicara secara praktis, sulit untuk memimpin ketika sedang murung, dan mungkin lebih sulit lagi untuk mengikuti pemimpin yang murung. Namun, secara lebih mendalam, sukacita adalah respons terakhir yang dapat dimiliki oleh orang Kristen terhadap dunia tempat kita hidup, dan terutama selama masa Adven dan Natal, para pemimpin perlu memahami mengapa kita dapat bersukacita dan mengapa institusi kita dapat menjadi tempat sukacita. Salah satu hal yang mencolok dari Natal pertama adalah pengumuman kabar gembira. Dari semua Kitab Injil, Injil Lukas adalah yang paling jelas. Malaikat Gabriel berkata kepada Maria: "Dengarlah, engkau akan mengandung dan melahirkan seorang Anak laki-laki, dan engkau akan menamai-Nya Yesus. Dia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Tuhan Allah akan memberi-Nya takhta Daud, nenek moyang-Nya. Dia akan memerintah atas keturunan Yakub untuk selama-lamanya dan kerajaan-Nya tidak akan pernah berakhir." (Lukas 1:31-33, AYT).

Kemudian, seorang malaikat — yang segera diikuti oleh "sejumlah besar bala tentara surgawi" —menambah-nambahkan seruan di atas seruan yang lain dan berkata kepada para gembala, "Aku memberitakan kepadamu kabar baik tentang sukacita besar yang diperuntukkan bagi semua bangsa. Pada hari ini, telah lahir bagimu seorang Juru Selamat, yaitu Kristus Tuhan, di kota Daud." (Lukas 2:10-11, AYT).

Dan Simeon, seorang nabi tua yang menantikan penghiburan bagi Israel, berseru kepada Allah ketika ia melihat bayi Yesus, "Sebab mataku telah melihat keselamatan-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan semua bangsa; yaitu cahaya yang akan menerangi bagi bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan, dan yang menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel." (Lukas 2:30-32, AYT).

Namun, ketika kita membaca Kitab Injil, sukacita tidak muncul di setiap halaman.

Memang, ketika Yesus memulai pelayanan-Nya, Dia tidak disambut oleh kerumunan orang yang bersukacita, tetapi oleh Iblis, yang mencobai-Nya ketika Dia lapar dan terasing. Segera setelah Dia mengalahkan iblis, terlebih lagi, kerumunan orang di kampung halaman Yesus pada awalnya memuji-Nya, tetapi kemudian dengan cepat berbalik memusuhi-Nya dan berusaha melemparkan-Nya dari tebing.

Ketika seseorang mengikuti kisah ini, setan-setan mengganggu Yesus, para cendekiawan menantang-Nya, para pembesar dan penguasa berencana untuk melawan-Nya, dan para murid-Nya sendiri terbukti keras kepala berulang kali. Dan pada akhirnya, Dia dieksekusi sebagai penjahat ? menggantikan Barabas si pembunuh dan bersama dengan dua orang ?penjahat? terkenal lainnya, seperti yang dikatakan oleh Lukas.

Sukacita yang dijanjikan berakhir. Para murid lupa akan nubuat Yesus yang mengatakan bahwa Ia akan dibangkitkan pada hari ketiga, dan para wanita di kubur benar-benar sedih dalam kedukaan mereka. Hmmm. Kisah kabar gembira macam apa ini? Tentu saja, ada petunjuk sebelumnya bahwa sukacita akan bercampur dengan kesedihan. Segera setelah doa syukurnya, misalnya, Simeon memberi tahu Maria bahwa anaknya "telah ditetapkan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel, serta menjadi tanda yang ditentang banyak orang. (Dan sebilah pedang akan menusuk jiwamu)" (Lukas 2:34-35, AYT).

Dan Yesus secara teratur mengubah — atau mencoba mengubah — ekspektasi para murid untuk memasukkan penderitaan dan kematian-Nya: "Anak Manusia harus menderita banyak hal dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan akan dibangkitkan pada hari yang ketiga" (Lukas 9:22, AYT).

Namun, janji-janji Natal tetap melekat pada mereka; pada momen yang tidak kalah pentingnya dengan Perjamuan Terakhir itu sendiri, para murid berdebat lagi tentang siapa yang akan menjadi yang terbesar dalam kerajaan yang akan datang — yaitu, mereka jelas masih percaya bahwa Natal akan datang.

Namun, beberapa jam kemudian, keyakinan mereka hancur, karena orang yang seharusnya menghidupi kebenaran janji-janji Allah tergantung di kayu salib. Kematian, seperti yang dipahami oleh para murid sendiri, adalah akhir dari janji-janji ini.

Kecuali, tentu saja, kematian itu sendiri dikalahkan.

Jika kematian tidak lagi menjadi akhir, maka janji-janji Natal akan diperbaharui. Natal, dengan kata lain, membutuhkan Paskah. Natal adalah pengumuman kabar gembira. Tetapi tanpa Paskah, Natal hanyalah kekecewaan, janji-janji Allah yang tidak terpenuhi dan calon Mesias yang telah mati. Paskah "kebangkitan" adalah alasan mengapa Natal adalah Natal. Kabar gembira dari Gabriel, para malaikat, nabi Simeon dan yang lainnya justru bersukacita karena kematian Yesus bukanlah akhir dari hidup mereka.

Paskah "kebangkitan" adalah alasan mengapa Natal adalah Natal

Paskah tidak hanya membangkitkan janji-janji Natal, tetapi juga mengubahnya. Kita tidak lagi dapat mendengar kata-kata Gabriel atau pemberitaan malaikat tanpa mengetahui bahwa kematian dan kebangkitan adalah syarat penggenapannya. Tidak ada sentimentalitas, tidak ada kepahlawanan, tidak ada kemeriahan. Pengharapan yang mengarah ke depan adalah janji-janji ini. Janji-janji itu menantikan Paskah untuk penggenapannya, dan dari penggenapan ini muncullah sukacita kita. Banyak lembaga Kristen mencari cara untuk mengakui sukacita Natal yang seharusnya ? gereja, tentu saja, tetapi juga perpanjangan tangan gereja, seperti bank makanan dan tempat penampungan tunawisma, memanfaatkan "semangat Natal" untuk tujuan yang baik. Para pemimpin lembaga-lembaga ini sebaiknya menyadari bahwa Natal hanyalah permulaan, dan bahwa, pada kenyataannya, jika hanya itu yang kita miliki, kita akan membodohi diri kita sendiri tentang sukacita yang ada di sini. (t/Yosefin)

Diambil dari:
Nama situs : Faith and Leadership
Alamat artikel : https://faithandleadership.com/c-kavin-rowe-why-christmas-needs-easter
Judul asli artikel : C. Kavin Rowe:Why Christmas needs Easter
Penulis artikel : C. Kavin Rowe