Jangan Mengacuhkan Yusuf pada Masa Natal
Saya memerankan seekor sapi dalam drama Natal saya di kelas satu, dan saya memiliki lebih banyak dialog dibanding anak yang memerankan Yusuf. Dia adalah peran pembantu, atau seperti itulah tampaknya, bagi Maria, bagi boneka plastik di palungan, dan bagi seluruh pemain drama kami lainnya. Kami hanya mengikuti naskah drama. Hanya ada sedikit ruang bagi Yusuf dalam peristiwa di penginapan pada imajinasi orang Kristen dewasa ini, terutama dalam kalangan Protestan konservatif seperti saya. Tampaknya, peran Yusuf satu-satunya adalah, sebagai seorang penerima tamu -- untuk mengantar Maria sampai ke kandang di Betlehem, dan kemudian untuk mengantarnya kembali ke Bait Allah di Yerusalem, untuk mencari Yesus yang tengah berkeliaran saat berusia 12 tahun.
Namun, ada lebih banyak yang perlu diketahui mengenai sosok Yusuf.
Ayah yang Sebenarnya
Ketika kita berbicara sepenuhnya tentang Yusuf, kita menghabiskan sebagian besar waktu kita untuk membicarakan apa yang tidak menjadi peranannya. Kita percaya (benar) dengan para rasul bahwa Yesus dikandung dalam rahim seorang perawan. Yusuf bukanlah ayah biologis Yesus; tidak ada jejak sperma dari Yusuf yang terlibat dalam pembentukan embrio Kristus. Tidak ada bagian dari DNA Yusuf yang dapat ditemukan dalam darah Yesus yang telah mengering, yang dikupas dari kayu salib Golgota. Yesus dikandung oleh Roh Kudus, yang benar-benar terlepas dari kehendak maupun tenaga manusia manapun.
Meski begitu, perlu dicatat, kita harus berhati-hati untuk tidak merendahkan Yusuf hanya sebagai Bill Clinton abad pertama yang jujur, yaitu: "Dia tidak melakukan hubungan seksual dengan wanita itu." Ada banyak lagi yang dapat dikatakan. Yusuf bukanlah ayah biologis Yesus, tetapi dia merupakan ayah kandung-Nya. Dalam adopsinya terhadap Yesus, Yusuf benar diidentifikasi oleh Roh yang berbicara melalui Kitab Suci sebagai ayah Yesus (Lukas 2:41, Lukas 2:48).
Yesus tentunya mengatakan kata "Abba" awal-Nya kepada Yusuf. Ketaatan Yesus kepada ayah dan ibunya. Ketaatan adalah penting untuk melakukan hukum-Nya demi kita (diarahkan kepada Yusuf (Lukas 2:51)). Yesus tidak memiliki darah Yusuf, tapi Ia menyatakan dia sebagai ayah-Nya, menaati Yusuf dengan sempurna, bahkan mengikuti keahliannya. Ketika Yesus dicobai di padang gurun, Ia mengutip kata-kata Ulangan untuk melawan "semua panah api dari si jahat," (Efesus 6:16). Pikirkan tentang hal ini sejenak. Yesus hampir pasti mempelajari Kitab Suci Ibrani itu dari Yusuf, saat Ia mendengarkannya di meja kayu, atau saat tengah berdiri di sampingnya di dalam rumah ibadat.
Perbuatan yang Sulit
Kartun kita di masa kini pada gambaran dua dimensi terhadap Yusuf sangat mengabaikan betapa sulitnya bagi Yusuf untuk melakukan apa yang telah dilakukannya. Bayangkanlah sejenak jika ada salah satu remaja putri di gereja Anda berdiri di belakang mimbar untuk memberikan kesaksiannya. Dia hamil delapan bulan, dan belum menikah. Setelah beberapa menit membicarakan tentang karya Allah dalam hidupnya dan betapa senangnya dia yang akan menjadi seorang ibu, dia mulai berbicara tentang rasa syukurnya bahwa dia tetap murni secara seksual dan terus menjaga semua komitmennya mengenai "Cinta Sejati Menunggu", yang dibuatnya dalam studi kelompok Alkitab pemuda. Anda akan segera menyimpulkan bahwa gadis itu sedang berkhayal atau berbohong.
Ketika para revisionis Alkitab masa kini mengejek mukjizat kelahiran Yesus dari keperawanan serta mukjizat lainnya, mereka sering mengatakan bahwa kita sekarang berada di luar hal-hal 'mitos' semacam itu, karena kita hidup di dalam masa pasca-pencerahan, abad kemajuan informasi yang ilmiah. Apa yang dilewatkan oleh kritik semacam itu adalah kenyataan bahwa konsep keperawanan selalu terdengar konyol dari masa ke masa. Orang-orang di abad pertama Palestina tahu bagaimana bayi dikandung. Kenyataan dari kesemuanya itu jelas dalam teks Alkitab itu sendiri. Ketika Maria mengatakan kepada Yusuf bahwa dirinya sedang mengandung, reaksi pertamanya bukanlah kalimat gembira "Hari ini mulai terlihat seperti Natal." Tidak, dia memiliki anggapan yang siapa pun dari kita juga akan menyimpulkannya, dan ia berniat untuk mengakhiri pertunangan mereka.
Namun, Allah kemudian masuk dalam cerita.
Ketika Allah berbicara dalam mimpi Yusuf mengenai identitas Yesus, Yusuf, seperti orang lain yang mengikuti Kristus, mengenal suara itu dan melakukannya (Matius 1:21). Adopsi dan perlindungan Yusuf terhadap Yesus merupakan hasil dari keyakinan itu.
Iman yang Sama
Dalam memercayai Allah, Yusuf mungkin kehilangan reputasinya yang baik. Para penggosip di kota kelahirannya mungkin akan selalu berbisik tentang bagaimana "Yusuf yang malang ditipu oleh gadis itu" atau bagaimana "Yusuf tua membuat dirinya berada dalam kesulitan dengan gadis itu." Sebagai pertaruhan yang lebih tinggi, Yusuf tentu mengorbankan kondisi ekonominya. Pada abad pertama di Galilea, kita tidak dapat begitu saja pindah ke Mesir, seperti pada saat ini jika seseorang memutuskan untuk pindah ke London atau New York. Yusuf mengorbankan sebuah pondasi ekonomi, sebuah keahlian yang mungkin dibangun dari generasi ke generasi yang diturunkan kepadanya, yang diperkirakan berasal dari ayahnya.
Tidak diragukan lagi, Yusuf adalah seorang yang unik. Tak satu pun dari kita akan pernah dipanggil untuk menjadi ayah bagi Tuhan. Namun, dalam arti kenyataan lainnya, iman Yusuf persis sama seperti kita. Surat Yakobus, misalnya, berbicara tentang definisi iman dengan cara ini: "Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia."(Yakobus 1:27). Yakobus adalah orang yang memberitahukan kepada kita bahwa iman bukanlah sekedar keyakinan intelektual, yaitu iman yang juga terdapat pada Setan (Yakobus 2:19), tetapi sebaliknya, sebuah iman yang bekerja.
Yakobus menunjukkan kepada kita bahwa iman Abraham terlihat ketika dia mempersembahkan Ishak, dengan mengetahui bahwa Allah akan menepati janji-Nya dan membangkitkan Ishak dari antara orang mati (Yakobus 2:21). Kita mengetahui bahwa Rahab memiliki iman tidak semata-mata karena dia mengadakan perjanjian dengan para pengintai Ibrani, tetapi karena dengan menyembunyikan mereka dari musuh, dia menunjukkan bahwa dia memercayai Tuhan untuk menyelamatkannya (Yakobus 2:25). Yakobus mengatakan kepada kita bahwa iman sejati adalah dengan menampung anak yatim piatu.
Yang bahkan memberi bobot lebih kepada kata-kata tersebut adalah identitas dari sang penulis. Surat ini ditulis oleh Yakobus dari gereja Yerusalem, saudara Yesus, Tuhan kita. Berapa banyak dari "agama yang murni dan tidak bercela" ini dilihat Yakobus, pertama-tama dalam kehidupan ayah duniawinya sendiri? Apakah citra Yusuf yang tertanam dalam pikiran Yakobus ketika ia menulis kata-kata melindungi anak yatim piatu, sebagai iman yang hidup?
Adalah memalukan bahwa Yusuf begitu diabaikan dalam pemikiran dan kepedulian kita bahkan pada saat Natal. Bagaimanapun juga, jika kita memperhatikan Yusuf, kita mungkin saja melihat keteladanan bagi generasi orang-orang Kristen yang baru. Kita mungkin melihat bagaimana cara untuk hidup dengan kehadiran Kristus dalam sebuah budaya kematian. Kita mungkin melihat bagaimana menggambarkan seorang Bapa pelindung, bagaimana memberitakan Injil yang hidup dan meneguhkan, bahkan di dalam budaya yang terpikat oleh semangat Herodes. (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Christianity |
Alamat URL | : | https://www.christianity.com/blogs/russell-moore/lets-stop-ignoring-joseph-at-christmas.html |
Judul asli artikel | : | Let's Stop Ignoring Joseph at Christmas |
Penulis artikel | : | Russell D. Moore |
Tanggal akses | : | 8 Mei 2014 |