Mengikuti Bintang dan Hanya Menemukan Sebuah Kandang

Aktris Helen Hayes menceritakan pengalaman pertamanya memasak kalkun untuk merayakan hari Pengucapan Syukur. Ia mengaku dirinya tak pandai memasak. Namun, setelah beberapa tahun menikah, ia memutuskan untuk mencoba menyiapkan hidangan kalkun sendiri. Sebelum hidangan disantap, ia mempersilakan suami dan anaknya duduk di depan meja makan. Lalu ia berkata, "Mungkin masakanku tidak seperti yang kalian harapkan. Kalau kalkunnya tidak enak, jangan berkomentar. Berdiri saja dan kita akan pergi ke restoran terdekat, lalu makan di sana."

Lalu Helen memasuki ruang makan sambil membawa hidangan kalkun. Namun, suami dan anaknya sudah berdiri dengan pakaian rapi, jas beserta topi, siap untuk pergi!

Harapan benar-benar menentukan tindakan kita. Kita menjalankan kehidupan dan kegiatan sehari-hari berdasarkan apa yang kita harapkan. Anak-anak merupakan contoh terbaik. Saya membayangkan jika Anda memiliki anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar, Anda tidak akan kesulitan untuk membangunkan mereka pagi-pagi pada hari Natal. Jika Anda seperti saya dan Margaret, istri saya, sebelum pergi tidur Anda akan berdoa demikian, "Ya, Allah, biarkan mereka tertidur pulas!" Tetapi, sehari setelah tahun baru, ketika anak-anak yang sama harus bangun untuk pergi ke sekolah, persoalannya jadi sama sekali berbeda. Mengapa? Karena tingkah laku mereka dipengaruhi dan dikendalikan oleh harapan-harapan mereka.

Bagaimana Jika Anda Mengikuti Bintang dan Hanya Menemukan Sebuah Kandang?

Dalam Matius 2, kita membaca kisah orang majus yang berkelana mengikuti bintang. Berdasarkan perikop Kitab Suci di atas, saya ingin bertanya kepada Anda: Bagaimana seandainya Anda yang mengikuti bintang itu, dan ternyata Anda hanya dituntun ke sebuah kandang? Setelah berharap akan menemukan sesuatu yang agung dan mulia di akhir perjalanan, ternyata bintang itu hanya menuntun ke halaman belakang sebuah kandang. Di sana, alih-alih melihat sebuah istana beserta raja yang duduk di singgasana, Anda menemukan seorang bayi mungil di pangkuan ibunya. Sama sekali tidak seperti yang Anda harapkan. Bagaimana reaksi Anda ketika mengikuti bintang dan hanya menemukan sebuah kandang? Bagaimana tingkah laku Anda dipengaruhi oleh hasil yang diharapkan?

"Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem dan bertanya-tanya: 'Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.' Ketika raja Herodes mendengar hal itu terkejutlah ia beserta seluruh Yerusalem. Maka dikumpulkannya semua imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi, lalu dimintanya keterangan dari mereka, di mana Mesias akan dilahirkan. Mereka berkata kepadanya: 'Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi: Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.' Lalu dengan diam-diam Herodes memanggil orang-orang majus itu dan dengan teliti bertanya kepada mereka, bilamana bintang itu nampak. Kemudian ia menyuruh mereka ke Betlehem, katanya: 'Pergi dan selidikilah dengan seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya aku pun datang menyembah Dia.' Setelah mendengar kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada. Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur. Dan karena diperingatkan dalam mimpi, supaya jangan kembali kepada Herodes, maka pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain." (Matius 2:1-12).

Dapatkah Anda bayangkan kekecewaan orang-orang majus ketika mereka tiba di Betlehem? Kita tahu bahwa mereka berharap akan menemukan rumah besar atau istana kerajaan. Mereka bahkan singgah di istana Herodes untuk mencari keterangan mengenai bintang yang mereka lihat dan bayi yang akan dilahirkan.

Masing-masing dari kita pernah melewati masa-masa seperti saat mengikuti sebuah bintang. Segala sesuatu tampak begitu menjanjikan, tetapi pada akhirnya yang kita temukan hanya sebuah kandang. Kemenakan Margaret, Troy, adalah seorang atlet muda berbakat dengan cita-cita tinggi. Ia seorang mahasiswa yang terbukti cemerlang pada tahun kedua kuliahnya. Troy sangat tampan, dan tampaknya ia memiliki segalanya. Sampai suatu malam ia mengalami kecelakaan mobil yang hebat. Ia terlempar 30 meter lebih dari mobilnya dan hidupnya berakhir di kamar ICU sebuah rumah sakit di Columbus, Ohio. Seandainya Anda bertemu dengan Troy beberapa jam sebelum kecelakaan, Anda mungkin berkata, "Anda seorang pemuda yang sedang mengikuti sebuah bintang. Masa depan Anda terbentang luas." Namun kini, kita meragukan apakah ia masih memiliki masa depan.

Lihatlah kembali foto-foto lama Anda saat wisuda SMA, dan amatilah beberapa teman yang lulus bersama Anda. Sebagian mereka lulus dengan masa depan yang menjanjikan. Mungkin saat melihat tulisan mereka di buku tahunan dan Anda mulai berpikir tentang masa lalu , Anda merasa yakin bahwa suatu hari nanti mereka akan menjadi seorang bintang. Namun, ketika Anda melihat keadaan mereka sekarang, Anda dapat melihat bahwa hidup telah berubah menjadi kekecewaan.

Para mahasiswa lulus kuliah dan mengempit ijazah sarjana, siap keluar dan menaklukkan dunia. Namun, setelah itu mereka mendapati bahwa pekerjaan yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan keinginan.

Sudah sering saya berdiri di depan altar dan menikahkan pasangan. Mempelai-mempelai itu tampak sedemikian anggun dan bermasa depan cerah. Setiap orang berpikir pernikahan mereka akan sangat bahagia, tetapi beberapa tahun kemudian perkawinan mereka hancur di sidang perceraian.

Saat bos memanggil Anda ke kantornya, mungkin Anda berharap akan mendapatkan promosi jabatan. Saat duduk dengan penuh harapan, Anda diberi tahu bahwa ternyata orang lainlah yang mendapat posisi yang Anda impikan. Anda keluar ruangan dengan lemas, menyadari bahwa setelah mengikuti bintang, pada akhirnya Anda sampai ke sebuah kandang.

Mungkin ayah dan ibu Anda hendak memulai suatu bisnis. Selama hidup mereka telah menyisihkan sedikit uang secara teratur untuk keperluan tersebut. Ketika tiba saatnya memohon pinjaman, pergilah mereka ke bank. Mereka sedemikian bersemangat ketika membuka pintu bank, namun ternyata ada peminjam lain yang lebih dahulu dikabulkan pinjamannya. Mereka telah mengikuti bintang, tetapi mereka mendapati diri mereka berada di sebuah kandang.

Saya menyaksikan banyak orang memasuki masa pensiun, dan mereka tak sabar lagi untuk melepaskan diri dari pekerjaan yang berat dan membosankan. Sepanjang hidup mereka dihabiskan untuk bekerja keras, dan akhirnya mereka mendapat jam emas atas pengabdian mereka. Namun, beberapa bulan kemudian mereka mendapati bahwa masa pensiun tidaklah seperti yang diharapkan. Mereka menjadi gelisah dan tidak tenang. Apa yang terjadi? Mereka mengira telah mengikuti bintang, tetapi ketika sampai ke tujuan, yang ditemukan hanya sebuah kandang.

Ada sebuah pesan yang saya sampaikan kepada para pendeta dalam berbagai konferensi, yaitu, "Flops, Failures, and Fumbles" (Kejatuhan, Kegagalan, dan Keguncangan). Ini adalah semacam kisah hidup saya. Di dalamnya saya menceritakan hal-hal bodoh yang telah saya lakukan dalam pelayanan. Ini membuat para pendeta lain terheran-heran. Saya paling suka menyampaikan pesan ini di akhir konferensi karena di sepanjang konferensi mereka hanya mendengar tentang keberhasilan. Saya ingin mereka tahu bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan. Kadang-kadang bintang yang Anda ikuti tidak membawa Anda ke tempat yang Anda inginkan.

Pada hari lain, saya membaca tulisan seorang pendeta yang jelas-jelas telah menjumpai beberapa "kandang" dalam perjalanan hidupnya. Ia menuturkan cerita sebagai berikut.

Konselor saya memaksa saya untuk menghadapi fakta bahwa saya gagal dalam pelayanan. Izinkan saya mendaftar kekurangan saya dalam kegiatan penginjilan. Saya belum pernah ke Tanah Suci. Maksud saya, sebagai pengunjung pun saya belum pernah ke sana, apalagi sebagai pemandu wisata. Saya mengernyit setiap kali melihat iklan di majalah-majalah rohani yang berbunyi, "Pergilah ke Tanah Suci". Istri saya bahkan berhenti membeli sosis Kosher [makanan Yahudi] karena semua itu membuat saya merasa bersalah. Setiap program yang saya mulai selalu gagal. Gerakan penginjilan yang kami lakukan tidak meledak; hanya menghasilkan letupan memalukan yang kemudian menggelinding dan mati. Saya menghadiri Seminar Pertumbuhan Gereja, dan ketika saya pergi mengikuti seminar tersebut enam keluarga meninggalkan gereja kami. Sebuah keluarga pengungsi yang sedianya kami tampung menolak untuk datang. Kabar terakhir yang saya dengar, mereka sedang mencari suaka di sebuah restoran China di St. Louis. Ketika saya menelepon sebuah nomor untuk minta didoakan, saya mendapatkan nomor yang keliru, biasanya saya terhubung dengan rumah pemakaman atau tempat pengiriman ayam. Saya mencoba menekan nomor telepon untuk pelayanan meditasi, tetapi tapenya rusak sesudah kalimat pertama yang berbunyi, "Jadi, banyak yang tidak berjalan lancar hari ini." Tim gereja kami tidak pernah menang dalam pertandingan apa pun. Bisbol, bola basket, bola voli, shuffleboard .... Dalam pertandingan apa saja kami selalu kalah. Para juara Liga Kecil kota menantang kami dan mereka menang. Saya berpikir untuk membicarakan semua ini dengan para pemimpin denominasi kami, tetapi mereka tidak pernah ada ketika saya telepon, dan semua surat yang mereka kirimkan kepada saya dialamatkan ke semua penghuni rumah. Saya pernah diberi tahu bahwa kegagalan bisa menjadi pintu belakang bagi keberhasilan, tetapi tampaknya pintu itu terkunci rapat-rapat dan saya tidak bisa menemukan kuncinya. Ada saran?

Ini adalah gambaran seorang pria yang mengikuti bintang, tetapi hanya menemukan sebuah kandang.

Dalam cerita "Peanuts", Lucy kadang-kadang suka berpura-pura menjadi seorang psikiater. Suatu hari, ia memasang papan kecil berbunyi: "Bantuan Psikiatris 5 sen". Seperti biasa, pelanggan pertamanya adalah Charlie Brown. Namun kali ini, Lucy dibuat frustrasi oleh pasiennya sehingga ia berkata, "Charlie Brown, terkadang saya merasa kita tidak sedang berkomunikasi. Charlie Brown, kamu seperti bola bisbol yang melenceng keluar dari lapangan dalam pukulan keras kehidupan. Kamu sering harus ke belakang gawang untuk memungut bola sepak. Kamu seperti pukulan yang meleset dalam permainan biliar. Kamu seperti pukulan tiga kali untuk memasukkan bola golf pada hole ke-18. Kamu itu split tujuh-sepuluh dalam frame kesepuluh dalam permainan holing. Kamu itu tongkat pemancing dan pengulir tali pancing yang jatuh ke danau kehidupan. Kamu itu lemparan bebas yang salah. Kamu seperti sembilan bola golf yang tercebur di danau padang golf. Kamu itu pukulan bisbol ketiga yang tidak mengenai bola. Kamu itu serangga yang mengganggu kaca depan mobil. Kamu paham? Kamu tahu 'kan yang saya maksud?"

Bagian yang indah dari kisah Natal mengenai orang-orang majus adalah yang mereka lakukan ketika sampai di kandang. Melalui tindakan mereka, ada tiga hal yang diajarkan kepada kita. Saya percaya semua orang bijak di sepanjang zaman telah melakukan ketiga hal ini ketika mereka sampai di sebuah kandang -- suatu tempat atau situasi yang tidak seperti yang mereka harapkan.

Ketika Orang Bijak Menemukan Sebuah Kandang, Mereka Mencari Allah

Ketika orang bijak dari sepanjang zaman menemui situasi yang sulit, mereka tidak menjadi panik karena persoalan yang dihadapinya. Sebaliknya, mereka dengan tenang berkata, "Allah ada dalam kandang kehidupan ini. Ada beberapa hal yang dapat saya pelajari dari situasi ini. Saya akan tetap tenang karena Allah ada di sini."

Salah satu hal yang saya sukai mengenai Alkitab adalah bahwa para penulisnya tidak pernah menampilkan tokoh-tokoh Alkitab lebih baik daripada keadaan mereka yang sebenarnya. Semuanya diceritakan apa adanya.

"Orang Kristiani yang kuat selalu melihat Allah baik waktu susah maupun senang. Orang percaya yang dewasa melihat Allah tidak hanya dalam kesenangan dan di istana kerajaan, melainkan juga di pekarangan dan bahkan kandang kehidupan." (John Maxwell)

Lihatlah Yusuf, seorang yang amat bijak. Ia tahu bagaimana menemukan kebaikan dalam situasi yang buruk. Ingatkah Anda akan semua kejadian yang dialaminya? Ia dijual sebagai budak dan dikhianati oleh saudara-saudaranya. Di negara lain, ia difitnah ketika menjadi budak di rumah Potifar. Ia mengalami kemunduran demi kemunduran. Namun, pada akhirnya Allah mengangkatnya menjadi perdana menteri Mesir. Ketika saudara-saudaranya datang kepadanya untuk meminta maaf, apa komentar Yusuf? Ia berkata, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan." Yusuf memiliki kemampuan untuk melihat Allah di dalam kandang.

Lihatlah Ayub yang mendapati dirinya duduk di atas tumpukan abu. Ia orang baik yang tak pernah melakukan kejahatan. Namun, ia mengalami penganiayaan, kehilangan keluarga, kehilangan keberuntungan, bahkan para sahabatnya menyuruhnya mengutuki Allah, lalu mati. Namun, Ayub tidak mengindahkan nasihat mereka. Ia malah berkata, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan!" Ayub mampu melihat Allah di kandang kehidupan.

Lihatlah Daud, yang menuliskan Mazmur 23 di sebuah gua ketika melarikan diri dari kejaran putranya yang ingin merebut takhta. Daud sedang mengikuti bintang, namun ketika menemukan kandang, entah bagaimana ia melihat Allah di dalamnya.

Lihatlah Rasul Paulus. Bahkan ketika berada di penjara, ia menulis surat kepada jemaat di Filipi, memberitakan pesan yang menggembirakan dan meminta mereka bersukacita. Ketika ia sampai di kandang kehidupannya, Paulus mampu melihat Allah di situ.

Perbedaan antara orang kristiani yang lemah dan orang kristiani yang kuat adalah sebagai berikut:
Orang kristiani yang lemah hanya melihat kebaikan di dalam Allah. Ketika kebaikan berdatangan, orang kristiani yang lemah dan belum dewasa akan berkata, "Nah, ini pasti dari Allah, karena segala sesuatunya berjalan dengan baik." Saya selalu risi mendengar seseorang berkata, "Hmm, segala sesuatunya berjalan begitu lancar, saya tahu Allah pasti hadir di dalamnya." Padahal, tidak selalu begitu.

Orang kristiani yang kuat melihat Allah baik dalam susah maupun senang. Orang percaya yang dewasa melihat Allah tidak hanya dalam kesenangan dan istana kerajaan, melainkan juga di pekarangan, bahkan di kandang kehidupan.

Ketika Margaret dan saya tinggal di Ohio, kami sedang dalam proses untuk mengadopsi anak kedua. Kami memang sudah memiliki Elizabeth. Namun, kemudian kami menjalin kerja sama dengan agen kristiani yang bagus dari Oklahoma City dan sudah diwawancarai sekali. Dan, mereka sangat gembira karena berpikir dapat memberikan seorang anak laki-laki kepada kami.

Ketika mereka menelepon, saya sedang mengadakan konferensi di Ohio Selatan. Margaret dan saya sedang berada di hotel bersama beberapa pendeta lain. Dengan penuh sukacita mereka memberi tahu kami bahwa dalam tiga atau empat hari, kami akan mendapatkan seorang anak laki-laki. Namun, keesokan harinya mereka menelepon lagi dan berkata, "Kami minta maaf karena negara bagian Ohio tidak mengizinkan agen kami mengambil anak laki-laki itu saat mengetahui bahwa kami hanya mengizinkan keluarga kristiani untuk mengadopsi anak-anak dari agen kami. Mereka menuduh kami tidak memberikan hak yang sama." Para pejabat negara bagian telah ikut campur tangan.

Margaret dan saya duduk tersungkur di sebuah ruangan, menyadari bahwa anak laki-laki yang telah kami tunggu-tunggu tidak akan menjadi anak kami. Kami mendengar sendiri kabar buruk itu lima belas menit sebelum saya harus memberikan ceramah di hadapan para pendeta. Kami hanya bisa menangis pasrah dan berkata, "Allah, jalan-Mu lebih mulia daripada jalan kami. Kami tidak memahami situasi ini, tetapi kami akan menerimanya." Dalam keadaan kecewa saya keluar untuk menyampaikan ceramah.

Itu terjadi pada bulan Januari. Dua bulan kemudian, Joel Porter lahir. Kami hampir tidak menyadari bahwa Allah, dengan kedaulatan-Nya, telah memilihkan anak laki-laki itu untuk menjadi anak kami. Anak laki-laki itu membawa sukacita besar bagi saya dalam kebandelannya. Sifatnya itu membuat saya gembira karena ia mirip saya.

Pada tahun 1980, kami meninggalkan Lancaster. Dan saya pergi ke Marion, Indiana, selama satu setengah tahun untuk mengawasi penginjilan di sana. Waktu satu setengah tahun itu merupakan masa paling menyedihkan yang pernah kami alami. Sebagian besar waktu saya habis untuk bepergian, sementara istri saya tinggal di rumah. Kami meninggalkan rumah kami yang indah di Lancaster yang tepat bersebelahan dengan saudara laki-laki saya, untuk pergi ke daerah pedalaman di tengah hutan. Kami membeli rumah lain di Marion. Selama satu setengah tahun kami di sana, terjadilah depresi ekonomi dalam industri properti sehingga harga rumah anjlok. Saat memutuskan untuk pindah dan melayani ke daerah Skyline, kami mengalami kerugian lebih dari 20.000 dolar saat menjual rumah. Namun saya pikir, jika saya tidak pergi ke Marion, Indiana, saya tidak akan sampai ke San Diego. Ketika mengikuti bintang, saya sampai di sebuah kandang, tetapi Allah ada di sana.

Di sinilah kuncinya. Anda mungkin sedang dalam perjalanan menuju kandang dalam kehidupan Anda. Anda telah mengikuti bintang, dan bintang itu tampak sedemikian indah. Namun, tiba-tiba Anda bertanya, "Apa benar ini yang saya dapatkan?" Ingat, orang yang bijak memiliki kemampuan untuk melihat Allah dalam kandang-kandang kehidupan mereka.

Ketika Orang Bijak Menemukan Sebuah Kandang: Mereka Mempersembahkan yang Terbaik bagi Allah

Orang bijak juga mempersembahkan yang terbaik ketika mereka sampai ke sebuah kandang. Namun, itu bukan yang biasa kita lakukan. Bukannya mempersembahkan emas, kemenyan, dan mur dalam kandang kehidupan yang tidak kita harapkan, kita malah sering tergoda untuk menahannya bagi diri sendiri. Kenyataannya, ketika kita menemukan sebuah kandang dan bukan istana, kita sering tergoda untuk menolak memberikan apa pun, apalagi mempersembahkan yang terbaik.

Saat perkawinan tidak berjalan dengan semestinya, tiba-tiba kita berkata, "Kalau begitu, mungkin saya harus menyimpan apa yang saya miliki untuk diri sendiri." Kita mulai berhenti mengungkapkan perasaan dan menarik diri dari pasangan kita. Ketika kita sampai ke sebuah kandang kehidupan, di mana kita perlu memberikan hal terbaik yang kita miliki, kita justru tergoda untuk tidak memberikan yang terbaik itu. Menurut saya kita perlu melewati apa yang saya sebut "tes cermin". Setiap bangun di pagi hari dan melihat ke cermin, saya bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku memberikan yang terbaik dari diriku, di tengah situasi yang kualami saat ini?"

Mungkin kita sedang dirundung suatu masalah, atau sebaliknya, sedang mendapat banyak kelimpahan.

Ketika orang-orang majus sampai ke kandang, mereka tidak menahan harta milik mereka. Mereka tidak saling melirik dan berkata, "Kalau kita tidak meninggalkan apa-apa di sini, kita bisa memberikan emas dan kemenyan ini kepada Herodes. Kita mungkin harus memberikannya kepada Herodes dan keluarganya. Lagi pula, ia hanya seorang bayi yang terbaring di sebuah kandang. Tentu saja kita tidak perlu memberikan semua barang mahal ini kepada-Nya."

Perbedaan antara orang rata-rata dan orang di atas rata-rata terletak pada tiga kata saja: Lalu Melakukannya Lagi. Hamba-hamba Allah yang hebat, tokoh-tokoh hebat di dalam masyarakat, memberi yang terbaik dari yang dimilikinya, lalu melakukannya lagi. Mereka memaafkan orang lain, lalu melakukannya lagi. Mereka selalu berjalan lebih jauh lagi. Mereka selalu mengambil langkah maju. Mereka bersedia berusaha.

Winston Churchill berkata, "Dunia ini dijalankan oleh orang-orang yang kelelahan." Ia hendak mengatakan bahwa mereka yang benar-benar melakukan hal besar bagi Allah dan bagi sejarah tidak bisa melakukannya tanpa energi yang cukup. Mereka yang benar-benar membuat perubahan adalah mereka yang mengambil langkah lebih, yang menjalani kilometer kedua, yang memberikan yang terbaik dalam situasi apa pun, bahkan dalam situasi yang tampaknya sama sekali tak berpengharapan.

Amatlah menggembirakan bila kita dapat membagikan kebenaran ini pada saat Natal. Namun, kadang-kadang orang rata-rata tidak menghidupi kebenaran ini. Beberapa tahun lalu, kami mengajak anak-anak mengunjungi Monumen Washington. Kami harus mengantre dua jam untuk bisa memakai lift yang akan membawa kami ke puncak monumen. Dengan tidak sabar, saya mendekati pria di dekat lift dan bertanya, "Adakah cara naik yang lebih cepat?" Pria itu menatap saya dan berkata, "Anda bisa naik sekarang, jika Anda bersedia naik tangga." Saya pun kembali ke antrean.

Nasihat yang manjur bukan? "Anda bisa naik sekarang, jika Anda bersedia naik tangga."

Begitulah, orang rata-rata dalam kehidupan ini selalu ingin naik lift. Orang rata-rata ingin melakukan sesuatu yang hanya butuh sedikit usaha, bukan yang terbaik. Mereka terus-menerus berkata, "Bagaimana saya dapat mengurangi waktu kerja selama beberapa jam dan meminimalkan usaha?" Di Amerika, pola pikir demikian menghasilkan tenaga kerja berkualitas rendah dan bermental "semau gue". Inilah yang membuat Amerika kalah bersaing dengan negara-negara lain yang industrinya mendominasi dan lebih kuat. Mengapa? Karena orang Amerika tidak mau melakukan usaha ekstra untuk menghasilkan keunggulan.

Entah dalam berkhotbah, bekerja di pabrik, menjalankan usaha sendiri, atau di dalam keluarga, ciri seorang kristiani adalah bahwa ia bersedia berjalan lebih jauh dan memberikan pipi yang sebelah. Pria maupun wanita yang bijak melakukan usaha ekstra, dan semuanya itu demi kemuliaan Tuhan Yesus Kristus.

Ketika Orang Majus Menemukan Kandang, Mereka Mengubah Arah Tujuan Mereka

Pernahkah Anda memiliki pengalaman di "kandang", yang mengubah hidup Anda? Saya sering mengalaminya. Dalam tahun pertama melayani sebagai pendeta, saya mengunjungi seorang pria nonkristiani di rumah sakit. Saya belum pernah bersaksi kepadanya meski sudah lima kali mengunjunginya. Di hadapannya saya berperan sebagai "pria yang menyenangkan". Yah, saya pernah berdoa singkat bersamanya, juga mengutip Kitab Suci. Namun, saya tidak pernah membicarakan masalah jiwanya. Kemudian, pada suatu Jumat siang setelah meninggalkan rumah sakit, tepat saat saya masuk ke mobil, pria itu meninggal dunia.

Ketika sampai di rumah, istri saya sedang berbicara lewat telepon dengan saudara perempuan pria itu. Istri saya berkata, "Ya, saya yakin suami saya pasti bersedia memimpin upacara pemakaman."

Saya menanggapi istri saya dengan asal-asalan, "Tentu saja aku akan memimpin upacara pemakaman. Di mana-mana pendeta selalu memimpin upacara pemakaman."

Tak lama kemudian, kami sudah berdiri di rumah pemakaman, diapit dua saudara perempuan almarhum. Hati saya tersentak saat memandangi peti jenazah. Saya melihat seorang pria yang baru tiga hari lalu bercakap-cakap dengan saya. Lalu saya menyadari bahwa ia akan terhilang untuk selamanya, tanpa harapan akan keselamatan, selamanya tanpa Allah, karena John Maxwell tidak memiliki kuasa dan urapan rohani untuk bersaksi dalam nama Yesus Kristus. Saat itu merupakan "kandang" dalam kehidupan saya.

Saya ingat saat itu saya menangis bersama kedua saudara perempuannya. Mereka tersentuh melihat saya terharu. Mereka mengira saya menangis karena kehilangan seorang teman. Padahal, saya menangis karena Allah memperlihatkan gambaran diri saya sendiri kepada saya, dan gambaran itu tidak bagus. Gambar seseorang yang sedang memasuki kandang dan berkata, "Lalu saya harus berbuat apa?" Saya tidak memberikan yang terbaik, tidak mencari Allah. Selama enam bulan berikutnya, saya mencari Allah. Saya mencari urapan. Saya sangat sedih. Saya membuat istri saya sedih. Namun, dalam kandang kehidupan itulah hidup saya berubah dan tidak pernah sama lagi.

Selain Alkitab, ada dua buku yang telah mengubah hidup saya. Salah satunya adalah buku karangan Roland Bates berjudul "Here I Stand", yang berisi perjalanan hidup Martin Luther. Saya membacanya ketika berusia dua puluh tahun. Buku itu bersampul tipis, sebab itu saya meminta ibu saya untuk menambahkan sampul tebal agar tetap bagus, karena buku itu telah mengubah hidup saya. Martin Luther memiliki keberanian untuk menghadapi segala rintangan. Ia mempertaruhkan hidupnya dan berkata, "Di sini saya berdiri; saya tidak punya pilihan lain." Perkataan ini mengubah hidup saya.

Saya juga membaca buku "Spiritual Leadership" karangan Oswald Sanders. Ketika saya membaca mengenai pentingnya menjadi manusia rohani kepunyaan Allah, tulisan itu juga mengubah hidup saya. Ketika Anda sampai ke kandang kehidupan, pernahkah Anda berpikir bahwa Allah menghendaki agar Anda mengubah arah hidup Anda?

Suatu hari Henry David Thoreau memutuskan untuk menceburkan diri ke Kolam Walden dan menenggelamkan tubuh hingga sebatas mata. Dengan demikian, ia dapat melihat dunia melalui mata seekor katak. Saya selalu berpikir, "Betapa bodohnya; lagi pula, siapa yang peduli?" Namun, minggu-minggu ini saya mulai berpikir mengenai Henry David Thoreau. Saya mulai berpikir tentang Natal, dan saya mulai berpikir tentang Allah. Sadarkah Anda bahwa itu jugalah yang Allah lakukan? Allah semesta alam, yang tidak memiliki batas, membiarkan Diri-Nya dilahirkan oleh perawan Maria. Dia melihat melalui kaca mata manusia dan bertumbuh besar seperti Anda dan saya sehingga Dia dapat memahami kita dan tahu bagaimana cara berhubungan dengan kita. Jika Natal memiliki makna, Natal adalah kisah mengenai Allah yang mengubah dunia dan membiarkan Diri-Nya mengalami keterbatasan. Natal merupakan kisah seorang bayi yang dilahirkan di Betlehem, yang lebih berkuasa daripada Kekaisaran Romawi yang ada saat itu.

Saya ingin membagikan sesuatu yang menurut saya sangat penting. Bacalah dengan saksama:

Seabad yang lalu, beberapa pria sedang mengikuti barisan Napoleon dengan tegang dan penuh harap, menunggu berita mengenai perang. Sementara itu di rumah mereka sendiri, bayi-bayi dilahirkan. Namun, siapa yang sempat memikirkan bayi-bayi? Setiap orang memikirkan perang. Dalam setahun, secara diam-diam lahirlah banyak pahlawan ke dalam dunia. Gladstone dilahirkan di Liverpool, Inggris, dan Tennyson dilahirkan di Somersby. Oliver Wendell Holmes dilahirkan di Massachusetts. Persis pada hari yang sama, Charles Darwin memulai debutnya di Shrewsbury. Abraham Lincoln menghirup napas pertamanya di Old Kentucky, dan dunia musik diperkaya oleh kelahiran Felix Mendelssohn di Hamburg. Namun, saat itu tak seorang pun berpikir tentang bayi. Setiap orang memikirkan perang. Padahal, manakah di antara peperangan pada tahun 1809 yang lebih penting daripada bayi-bayi yang dilahirkan pada tahun tersebut? Kita membayangkan bahwa Allah hanya dapat mengatur dunia-Nya melalui batalion-batalion besar dalam hidup, sementara Dia menciptakan mereka melalui bayi-bayi cantik yang dilahirkan ke dalam dunia. Ketika suatu kesalahan perlu diperbaiki, atau suatu kebenaran perlu diajarkan, atau suatu benua perlu dibuka, Allah mengutus seorang bayi ke dalam dunia untuk melakukannya. Dan di manakah Anda menemukan Allah pada hari Natal? Dalam sebuah palungan. Seorang bayi dilahirkan di pusat wilayah Kekaisaran Romawi, sehingga ketika Kekaisaran Romawi mulai terpecah-belah dan akhirnya runtuh, bayi tersebut akan tumbuh dewasa dan menjadi Penyelamat dunia.

Ketika orang-orang majus menemukan kandang, mereka juga menemukan seorang bayi. Ketika orang-orang bertanya kepada saya mengenai masa depan, saya memberi tahu mereka satu hal, "Hamba-hamba Allah yang paling hebat bukan pengkhotbah kelas dunia. Mereka tidak terkenal, dan mereka bukan idola media. Hamba Allah terhebat bukanlah pendeta sebuah gereja. Hamba Allah yang terhebat adalah seorang bayi."

Kita melihat begitu banyak bayi di sekitar kita. Mungkin salah satunya akan menjadi John Wesley kedua. Ketika berkumpul di dekat pohon Natal dan membuka kado-kado Natal, pernahkah Anda berpikir bahwa bisa jadi salah satu dari anak-anak Anda akan menjadi Billy Graham kedua? Oh, tangan, kaki, pikiran, dan jiwa mereka menjadi hak istimewa kita untuk membimbingnya! Anak-anak kita mengamati kita. Mereka sedang melihat teladan kekristenan kita, komitmen kita kepada Tuhan, kesaksian kita yang setia. Mereka sedang menyimpan semuanya itu dalam-dalam di hati mereka, dan suatu hari mereka akan menjadi pria dan wanita yang hebat di hadapan Allah.

Jika Natal memang bermakna, makna itu adalah seorang bayi-bayi Allah, yang dilahirkan di dalam kandang, yang mengubah dunia selamanya. Ketika kita sampai ke kandang kehidupan kita, marilah kita bersikap bijaksana dan tidak pernah lupa untuk mencari Allah. Biarlah kita memberi persembahan yang terbaik bagi-Nya. Dan marilah kita mempersilakan Dia mengubah arah hidup kita, memampukan kita untuk menjadi orang-orang hebat seperti yang Allah kehendaki bagi kita.

"Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur." (Matius 2:11)

Diambil dari:

Judul asli buku : The Heart of Christmas
Judul buku terjemahan : Natal, Momen Penuh Makna
Penulis artikel : John Maxwell
Penerjemah : Stepanus Wakidi, Albertus Anto B. S.
Penerbit : Gloria Graffa, Yogyakarta 2004
Halaman : 14 -- 38