Mengapa Allah Anak Menjadi Manusia?

Pada abad kesebelas, Anselmus dari Canterbury mengajukan sebuah pertanyaan yang terkenal, "Mengapa Allah menjadi manusia?" Pertanyaan ini penting untuk diajukan karena akan membawa kita kepada dasar pemikiran tentang inkarnasi, dan dengan demikian kepada inti dari Injil. Anselmus memberi jawab atas pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa Allah Anak menjadi manusia untuk menggenapi rencana Allah Bapa, yakni menjadi penebus dosa untuk menyelamatkan orang-orang berdosa. Tidak kurang dari itu. Namun, Kitab Suci memberikan sejumlah alasan mengapa inkarnasi adalah sebuah keharusan dalam rencana ilahi, dan nas yang paling mendetail dan memberikan kepada kita beberapa alasan mengenai hal ini adalah Ibrani 2:5-18.

Seluruh Surat Ibrani berfokus pada supremasi dan kemuliaan Sang Anak, Tuhan kita Yesus Kristus. Dengan menguraikan beberapa teks Perjanjian Lama, dan dengan serangkaian kontras dengan berbagai tokoh Perjanjian Lama, penulis surat ini mendorong sekelompok orang Kristen yang sebagian besar adalah orang Yahudi dengan kebenaran bahwa Yesus telah datang sebagai Tuhan dalam rupa manusia untuk menggenapi semua janji dan pengharapan dalam Perjanjian Lama.

Gambar: bersyukur

Dimulai dari Ibrani 1:1-4, penulis menggunakan serangkaian perbandingan dan kontras untuk menguraikan tesisnya bahwa Yesus lebih unggul daripada semua tokoh Perjanjian Lama, termasuk Musa, Yosua, dan para imam besar. Namun, dia memulai dengan menunjukkan bahwa Yesus lebih unggul daripada para malaikat. Pertama, Yesus lebih agung daripada para malaikat yang melayani Allah karena Dia adalah Anak Allah (Ibrani 1:5-14). Berbeda dengan para malaikat, Sang Allah Anak diidentifikasikan dengan Allah sendiri karena nama-Nya yang lebih besar daripada nama mereka (Ibrani 1:4-5), penyembahan yang Dia terima (Ibrani 1:6), keberadaan-Nya yang tidak berubah sebagai Pencipta dan Tuhan alam semesta (Ibrani 1:10-12), serta kekuasaan serta pemerintahan yang Dia miliki bersama Bapa (Ibrani 1:7-9, 13). Sebaliknya, para malaikat hanyalah makhluk ciptaan dan hamba-hamba yang melayani (Ibrani 1:7, 14); mereka tidak setara dengan Bapa. Kedua, Yesus lebih tinggi daripada malaikat karena Dia datang untuk melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh malaikat. Dengan mengambil rupa sebagai manusia, Sang Anak menjadi manusia yang mewakili Mazmur 8 -- Adam terakhir -- yang membatalkan ketidaktaatan perjanjian Adam yang pertama dan mengantar ciptaan baru dengan menundukkan segala sesuatu di bawah kekuasaan dan pemerintahan-Nya.

Dalam Ibrani 2:5-18, penulis berfokus pada sentralitas inkarnasi dalam penggenapan rencana penebusan Allah, yang merupakan argumen terakhirnya untuk superioritas Allah Anak. Dengan demikian, empat bagian alasan untuk tujuan dan perlunya inkarnasi diberikan. Mari kita lihat masing-masing kebenaran yang mulia ini secara berurutan dalam Ibrani 2:5-18 (AYT):

Allah tidak menaklukkan dunia yang akan datang, yaitu dunia yang sedang kita bicarakan, kepada para malaikat. Namun, ada satu orang yang telah memberi kesaksian dalam sebuah nas: -Siapakah manusia sehingga Engkau memikirkannya? Siapakah anak manusia sehingga Engkau memedulikannya?
Untuk sesaat, Engkau membuatnya lebih rendah daripada malaikat; Engkau memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menaklukkan segala sesuatu di bawah kakinya.- Sebab, dengan menaklukkan segala sesuatu di bawah kaki-Nya, maka Allah tidak membiarkan sesuatu pun yang tidak takluk kepada-Nya. Akan tetapi, sekarang kita belum melihat segala sesuatu takluk kepada-Nya. Namun, kita telah melihat Yesus yang untuk sementara dibuat lebih rendah daripada para malaikat, yaitu Yesus yang dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat karena telah menderita kematian supaya oleh anugerah Allah, Ia dapat merasakan kematian bagi semua orang.

Sudah selayaknya Ia -- yang bagi Dia dan melalui Dia segala sesuatu ada -- menyempurnakan Perintis Keselamatan anak-anak-Nya melalui penderitaan, untuk membawa mereka kepada kemuliaan. Sebab, baik Ia yang menyucikan maupun mereka yang disucikan, semuanya berasal dari satu Bapa; itulah sebabnya Yesus tidak malu menyebut mereka sebagai saudara-saudara-Nya dengan berkata:
-Aku akan menyatakan nama-Mu kepada saudara-saudara-Ku. Di tengah-tengah seluruh umat-Mu,
Aku akan menyanyikan pujian bagi-Mu.- Dan lagi: -Aku akan menaruh keyakinan-Ku kepada Allah.-
Dan lagi, -Inilah Aku, beserta anak-anak yang telah diberikan Allah kepada-Ku.-

Karena anak-anak itu adalah manusia yang memiliki darah dan daging, maka Yesus juga mengambil bagian dalam keadaan mereka supaya melalui kematian-Nya, Ia dapat membinasakan dia yang memiliki kuasa atas kematian, yaitu Iblis. Dan membebaskan mereka yang seumur hidupnya diperbudak oleh ketakutan akan kematian. Jadi, jelaslah bahwa Ia tidak memberi pertolongan kepada para malaikat, tetapi kepada keturunan Abraham. Karena itu, dalam segala hal Yesus harus menjadi seperti saudara-saudara-Nya, supaya Ia dapat menjadi Imam Besar yang penuh belas kasihan dan setia dalam segala hal kepada Allah. Dengan demikian, Ia dapat membawa penebusan atas dosa-dosa umat. Sebab, Yesus sendiri menderita ketika dicobai, maka Ia dapat menolong mereka yang sedang dicobai.

Para malaikat yang berada di langit Betlehem pada Natal yang pertama telah memberitakan kelahiran Yesus, tetapi suatu hari nanti mereka juga akan memberitakan fajar hari yang baru.

1. Allah Anak Menjadi Manusia untuk Menggenapi Maksud Penciptaan Allah bagi Umat Manusia (Ibrani 2:5-9).

Penulis menunjukkan poin ini dengan mengutip Mazmur 8. Dalam konteks Perjanjian Lama, Mazmur 8 merayakan keagungan Allah sebagai Sang Pencipta dan posisi mulia yang dimiliki manusia dalam ciptaan. Mazmur ini mengingatkan kita akan rancangan penciptaan Allah bagi manusia, yaitu bahwa kita diciptakan sebagai pembawa gambar dan rupa-Nya untuk berkuasa atas dunia sebagai wakil-wakil-Nya (Kej. 1-2). Bahkan, dalam peralihan dari kutipan Mazmur 8:4-6 kepada Yesus, kitab Ibrani menekankan kehormatan dan kemuliaan manusia dengan menekankan bagaimana Allah bermaksud untuk menundukkan segala sesuatu kepada Adam dan, dengan demikian, kepada seluruh umat manusia: "Sebab, dengan menaklukkan segala sesuatu di bawah kaki-Nya, maka Allah tidak membiarkan sesuatu pun yang tidak takluk kepada-Nya." (Ibrani 2:8b, AYT) Namun, seperti yang kita ketahui dari Kejadian 3, Adam tidak taat, dan sebagai akibatnya, seluruh umat manusia sekarang berada di bawah penghakiman Allah. Kitab Ibrani menegaskan hal ini dengan tepat: "Akan tetapi, sekarang ini kita belum melihat segala sesuatu takluk kepada-Nya." (Ibrani 2:8c) Ketika kita melihat dunia, kita tahu bahwa rancangan ciptaan Allah bagi manusia telah gagal; kita tidak memerintah sebagaimana yang Allah kehendaki. Alih-alih menundukkan bumi di bawah kaki kita, kita justru ditaruh di bawah bumi sebagai pembawa gambar Allah yang memberontak.

Syukurlah, ini bukanlah akhir dari cerita. Seperti halnya Mazmur 8 menantang kita untuk melihat kembali kepada Kejadian 1-2, Mazmur 8 juga menantang kita untuk menantikan pemulihan kita. Mengingat posisinya dalam Perjanjian Lama, terutama dalam terang "janji proto-injil" Allah (Kej. 3:15) dan perkembangan yang terjadi dari janji ini melalui perjanjian-perjanjian dalam Alkitab, Mazmur 8 berbicara dalam bentuk nubuat. Daud menantikan suatu hari ketika Allah akan memulihkan kita kepada tujuan penciptaan kita, yakni pemulihan yang akan terjadi melalui orang lain -- seseorang yang berasal dari umat manusia dan mengidentifikasikan diri-Nya dengan kita, yang bertindak atas nama kita seperti Adam pada zaman dahulu, bukan karena ketidaktaatan Adam, tetapi justru memberikan kemenangan kepada kita melalui ketaatan-Nya (Rm. 5:12-21).

Inilah tepatnya bagaimana Ibrani 2:9 (AYT) menerapkan Mazmur 8 kepada Kristus: "Namun, kita telah melihat Yesus yang untuk sementara dibuat lebih rendah daripada para malaikat, yaitu Yesus yang dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat karena telah menderita kematian supaya oleh anugerah Allah, Ia dapat merasakan kematian bagi semua orang." Yesus digambarkan sebagai antitesis dari Adam. Dia adalah manusia yang mewakili manusia yang taat dan merendahkan diri dalam inkarnasi dan kematian-Nya, yang telah menaati kewajiban-kewajiban perjanjian dan menjamin kemuliaan-Nya yang akan dibagikan kepada umat-Nya. Seperti yang dikatakan oleh Tom Schreiner dengan baik, "Dalam hal ini, [Yesus] adalah manusia sejati, satu-satunya yang benar-benar menjalani kehidupan yang dimaksudkan untuk dijalani oleh manusia di bawah Allah."[1] Pemerintahan yang dijanjikan kepada umat manusia telah dipegang oleh manusia Kristus Yesus, yang memulihkan manusia untuk menyandang gambar Allah dalam kebenaran, membuat kita menjadi manusia yang sesungguhnya.

2. Allah Anak Menjadi Manusia untuk Membawa Anak-Anak Allah ke dalam Kemuliaan (Ibrani 2:10-13).

Dalam konteks Ibrani 2, kata "kemuliaan" bukanlah merujuk kepada surga; melainkan sebuah istilah dari Mazmur 8 yang merujuk kepada maksud Allah untuk mengembalikan kita kepada tujuan awal penciptaan manusia. Gambaran ini mengidentifikasikan Yesus dengan Yahweh yang memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir pada peristiwa Keluaran yang pertama untuk membuat mereka menjadi bangsa yang dimiliki dan menjadi tujuan-Nya. Yesus sekarang telah membawa "Keluaran yang baru" melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Sebagai "perintis [archgon] keselamatan mereka" (Ibrani 2:10) -- sebuah kata yang mengandung makna "perintis" (pemimpin/pelopor dan pendiri/pemenang) -- Yesus kini memimpin umat keluar dari perbudakan dosa dan maut (Ibrani 2:14-15) dan masuk ke dalam kehidupan perjanjian serta pemerintahan perwakilan di bawah Allah yang telah direncanakan-Nya sejak semula. Yesus adalah manusia pertama dari ciptaan yang baru. Dia adalah perintis/pejuang yang telah memenangkan kemenangan bagi umat manusia baru dengan membuka wilayah baru melalui karya penebusan-Nya.

Keluaran yang baru dan kemuliaan dari kemanusiaan yang baru ini bergantung pada penderitaan Sang Anak, yang membutuhkan inkarnasi-Nya. Untuk membawa banyak anak kepada kemuliaan, "sudah sepatutnyalah Ia [Allah] . . harus menyempurnakan dasar keselamatan mereka melalui penderitaan" (Ibr. 2:10). Kenyataannya, jika Sang Anak tidak mengambil rupa manusia dan menderita bagi kita, tidak akan ada penderitaan untuk menolong umat manusia, tidak akan ada penggenapan janji-janji Allah bagi umat manusia, dan tidak akan ada kembalinya kemuliaan yang telah direncanakan bagi umat manusia. Maka, penderitaan dan kematian Yesus bukanlah akhir dari inkarnasi yang gagal, tetapi justru merupakan tujuan dari inkarnasi tersebut, yang semuanya menggenapi rencana Allah untuk menyempurnakan umat manusia yang baru untuk memerintah ciptaan-Nya yang baik.

Selain itu, Yesus sendiri telah menjadi "sempurna karena penderitaan," atau lebih tepatnya, "melalui penderitaan" (Ibrani 2:10). Arti yang tepat dari "kesempurnaan" dalam kitab Ibrani masih diperdebatkan. Dalam konteks saat ini, yang terbaik adalah memahami kesempurnaan secara panggilan, yaitu bahwa Tuhan kita diperlengkapi sepenuhnya untuk jabatan-Nya. Selain itu, "melalui penderitaan" tidak identik dengan "penderitaan maut" (Ibrani 2:9), tetapi kata ini berbicara tentang penderitaan yang harus dilalui Kristus, yang mencakup seluruh pengalaman penderitaan-Nya yang terkait dengan dan menjelang kematian Kristus. Dengan demikian, agar Kristus dapat menggenapi tugas-Nya sebagai Pengantara bagi kita, Ia harus menjadi satu dengan kita, dan seluruh pengalaman-Nya sebagai manusia memenuhi syarat untuk menjadi "Imam Besar kita yang penuh belas kasihan dan yang setia" (Ibrani 2:17).

Terakhir, identifikasi dan penderitaan-Nya sebagai manusia diperlukan untuk "membawa anak-anak-Nya kepada kemuliaan" (Ibrani 2:10). Tindakan Allah yang tepat untuk menyempurnakan Anak melalui inkarnasi dan penderitaan-Nya menjadi dasar bagi umat-Nya yang mulai dipulihkan kepada tujuan penciptaan mereka. Baik Anak sebagai pengudus maupun anak-anak yang dikuduskan, semuanya berasal dari satu asal dan "itulah sebabnya Yesus tidak malu menyebut mereka sebagai saudara-saudara-Nya" (Ibr. 2:11b). Maka, dengan inkarnasi, Sang Anak datang untuk mengambil bagian dalam sumber dan penderitaan natur manusiawi kita. Dan identifikasi dan penderitaan-Nya sebagai manusia adalah satu-satunya cara untuk membawa umat manusia yang telah rusak ke dalam kemuliaan umat manusia yang baru.

3. Allah Anak Menjadi Manusia untuk Menghancurkan Kuasa Maut dan Iblis (Ibrani 2:14-16).

Kitab Ibrani secara langsung menghubungkan inkarnasi dengan penghancuran segala sesuatu yang menghalangi manusia baru dari kemuliaan yang telah direncanakan dan dijanjikan oleh Allah: "Karena anak-anak itu adalah manusia yang memiliki darah dan daging, maka Yesus juga mengambil bagian dalam keadaan mereka supaya melalui kematian-Nya, Ia dapat membinasakan dia, yang memiliki kuasa atas kematian, yaitu Iblis. Dan membebaskan mereka yang seumur hidupnya diperbudak oleh ketakutan akan kematian." (Ibrani 2:14-15, AYT) Singkatnya, penghancuran pembelenggu kita dan pembebasan kita dari penjara rasa takut mengharuskan Anak yang sama seperti kita untuk "memiliki darah dan daging."

Alkitab mengajarkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang normal bagi ciptaan Allah; sebaliknya, kematian adalah akibat dari dosa (Kej. 2:17). Kematian adalah hukuman Allah atas ketidaktaatan kita (Roma 6:23). Sebagai penghakiman atas dosa kita, Allah menyerahkan kita kepada kuasa Iblis (2 Korintus 4:4; Efesus 2:1-3; Kolose 1:13). Kita yang semula diciptakan untuk memerintah atas ciptaan Allah sebagai pembawa citra-Nya, sekarang meringkuk dalam ketakutan di hadapan Allah sebagai orang-orang yang mati secara rohani, yang pada akhirnya tampak pada kematian fisik kita. Satu-satunya harapan kita ditemukan dalam "perintis" kita (Ibrani 2:10) yang mendahului kita dan mengalahkan musuh-musuh kita. Kita membutuhkan Juru Selamat yang dapat mengatasi dosa, maut, dan Iblis dengan terlebih dahulu memiliki kemanusiaan yang sama dengan kita. Kita membutuhkan Juru Selamat yang akan menderita dan mati dalam kemanusiaan tersebut sehingga dengan kematian-Nya, kuasa maut dihancurkan.

Bahkan, hanya sebagai Anak yang berinkarnasi, Tuhan kita dapat menggenapi keselamatan kita dan mengalahkan musuh-musuh kita. Bukan malaikat yang ditolong-Nya karena Ia tidak menyamakan diri-Nya dengan atau mengambil natur malaikat. Sebaliknya, Sang Anak mengidentifikasikan diri-Nya dengan keturunan Abraham, umat-Nya, dan membawa mereka kepada kemuliaan dalam sebuah keluaran baru yang penuh kemenangan dan sukacita. Melalui inkarnasi dan karya salib-Nya, Sang Anak menjadi pemenang kita yang memenangkan peperangan, dan di luar Dia, tidak ada keselamatan. Penderitaan kita begitu menyedihkan sehingga membutuhkan tidak kurang dari penjelmaan Anak Allah sendiri, dan seluruh karya penebusan-Nya bagi kita.

4. Anak Allah telah menjadi manusia untuk menjadi Imam Besar yang penuh belas kasihan dan setia (Ibrani 2:17-18).

Penyebutan Yesus sebagai imam besar kita memperkenalkan jabatan dan karya Kristus yang akan dieksplorasi oleh penulis Ibrani dengan sangat mendetail di sepanjang sisa kitab ini (Ibrani 4:14-5:10; 7:1-10:25). Akan tetapi, dalam konteks Ibrani 2, keimaman besar Kristus menjadi batu penjuru bagi argumen tentang tujuan dan perlunya inkarnasi. Penulis memulai dengan menekankan sifat wajib dan komprehensif dari inkarnasi: "Karena itu, dalam segala hal Yesus harus menjadi seperti saudara-saudara-Nya" (Ibr. 2:17a, AYT). Dengan kata lain, untuk datang sesuai dengan rencana Allah, Sang Anak tidak dapat mengambil natur manusia yang parsial atau semu. Sang Anak berada di bawah kewajiban Bapa untuk mengambil kemanusiaan kita yang sama persis dengan natur kemanusiaan kita, kecuali tanpa dosa.

Secara lebih spesifik, ada dua klausa tujuan yang menjelaskan mengapa Allah Anak harus menjadi manusia, (1) "supaya Ia menjadi imam besar yang berbelas kasihan dan yang setia dalam pelayanan kepada Allah"; dan (2) "untuk mengadakan pendamaian bagi dosa-dosa manusia" (Ibrani 2:17b). Atau, dalam bahasa gereja mula-mula, Anak tidak dapat menebus apa yang tidak ditanggung-Nya; representasi membutuhkan identifikasi. Jika Anak tidak menjadi satu dengan kita, Ia tidak dapat menebus kita dengan seluruh hidup dan kematian-Nya bagi kita.

Refleksi Penutup

Alasan empat bagian dari Ibrani 2:5-18 ini dengan mulia menjelaskan mengapa Anak Alah harus menjadi manusia untuk menebus kita dari dosa kita, dan mengembalikan kita kepada tujuan penciptaan kita. Tidaklah mengherankan jika hanya Yesus yang dapat menyelamatkan kita, mengingat keadaan kita di hadapan Allah Bapa dan jenis Penebus yang Dia miliki. Kiranya kita senantiasa belajar bermegah di dalam Kristus Yesus, Tuhan kita, yang telah mengasihi dan menyerahkan diri-Nya bagi kita. (t/Jing-jing)

1. Thomas Schreiner, New Testament Theology: Magnifying God in Christ (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 382.

Diambil dari:
Nama situs : Christoverall
Alamat artikel : Why Did God the Son Become Human?
Judul asli artikel : https://christoverall.com/article/concise/why-did-god-the-son-become-human/
Penulis artikel : Stephen Wellum