Meneladani Karakter Sang Pemimpin

Natal sudah menanti, itu berarti kita akan kembali memperingati lahirnya seorang Pemimpin Besar ke dunia. Pemimpin yang mempunyai alam semesta beserta isinya. Kelahiran-Nya memberikan pengharapan akan adanya perubahan dalam hidup manusia, sekaligus teladan yang Dia tinggalkan untuk kita. Selain pengajaran yang Dia sampaikan, kepemimpinan yang Dia mulai lebih dari dua ribu tahun yang lalu, hingga sampai sekarang masih terus berlanjut, seharusnya menjadi panutan dan patokan. Berikut, beberapa hal penting yang bisa kita renungkan sebagai seorang pemimpin pada saat peristiwa Natal pertama terjadi.

1. Hati sebagai hamba Dalam kisah kelahiran Yesus Kristus, malaikat Gabriel mendatangi Maria untuk memberikan kabar sukacita sekaligus tanggung jawab besar untuk melahirkan Sang Juru Selamat dunia. Anugerah yang besar, namun dengan risiko yang besar pula. Seorang perawan suci, belum bersuami, tetapi akan melahirkan seorang anak. Pandangan miring kemungkinan besar akan dia terima, bahkan risiko kematian bisa terjadi karena pada zaman itu perempuan yang kedapatan melakukan zinah akan dirajam batu sampai mati. Namun, apa yang dilakukan Maria?

"Kata Maria: `Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.` Lalu malaikat itu meninggalkan dia" (Lukas 1:38).

Memiliki hati sebagai hamba, menyadari bahwa kita hanyalah alat-Nya, akan membuat kita tahu diri, siapa sebenarnya yang kita layani dan siapa sebenarnya yang layak menerima segala penghormatan dan pengagungan. Maria menyadari, bahwa dirinya hanyalah seorang manusia yang sudah sepatutnya berserah pada kehendak Tuhan yang menciptakan dia, yang menjadi Tuan atas hidupnya.

Sebagai seorang pemimpin, memiliki hati sebagai hamba atau pelayan adalah suatu hal yang mutlak. Melihat kecenderungan sebutan "hamba Tuhan", sering kali kita lupa akan arti sebutan itu sesungguhnya. Penghormatan dan perlakuan khusus yang diterima dari orang-orang sekitar, terkadang membuat kita lupa diri bahwa kita adalah seorang hamba atau seorang pelayan. Biarlah segala kehormatan dan kemuliaan hanya bagi Tuhan yang memakai kita.

2. Ketaatan Ketika Yusuf, tunangannya, tahu bahwa Maria mengandung bayi Yesus, Yusuf berencana menceraikan Maria secara diam-diam. Namun, malaikat Tuhan hadir dalam mimpi Yusuf, memberitahu untuk tidak menceraikan Maria. Yusuf pun taat dan tidak menceraikan Maria, tidak bersetubuh dengan Maria sampai bayi Yesus lahir (Matius 1:19-25).

Ketaatan, kata yang sering kali sulit untuk dilakukan. Para pemimpin cenderung memberikan perintah kepada karyawan. Seperti ada pepatah, atas langit masih ada langit. Demikian juga di atas pemimpin masih ada pemimpin. Allahlah pemimpin yang paling tinggi. Ketaatan seorang pemimpin, tentunya akan diteladani oleh karyawannya pula.

3. Kesederhanaan Natal pertama ditunjukkan dengan sifat kesederhanaan dari Sang Pemimpin yang telah lahir. Pilihan untuk lahir di kandang dan tidak di penginapan mewah maupun istana raja. Sehingga, memungkinkan para gembala bisa datang untuk melihat. Saat beranjak besar, Yesus dibentuk dan hidup di keluarga yang sederhana. Hingga mendapat sebutan `anak tukang kayu`. Dalam pelayanan pun, kesederhanaan tak pernah lepas dari setiap langkah-Nya.

Bagaimana dengan kepemimpinan Anda? Apakah kesederhanaan masih mewarnai kepribadian dan pelayanan Anda? Apakah kemewahan dan tersedianya kenyamanan membuat Anda terlelap bahkan membuat kepemimpinan Anda tidak efektif?

Ketika seorang pemimpin, dalam hal ini hamba Tuhan, beroleh sukses dan nama besar sudah melekat, kecenderungan untuk memilih-milih ladang pelayanan yang nyaman dan bergaji besar sangat mungkin terjadi. Pelayanan daerah yang mungkin dulu sangat ditekuni, akibat kemewahan, cenderung dihindari dan beralih memilih kenyamanan.

Biarlah sedikit renungan singkat tentang kisah Natal di atas bisa menjadi refleksi dari apa yang sudah kita kerjakan sebagai seorang pemimpin. Selamat Natal para pemimpin.

Kiriman: Petrus < petrus(at)xxxx >