Lagu Kesukaan Bagi Dunia

Dari tahun 1712 sampai dengan tahun 1748, kota London adalah tempat kediaman dua orang pria yang terkenal semasa hidupnya, dan yang masih tetap terkenal sampai sekarang. Mereka adalah Isaac Watts dan George F. Handel. Kedua orang itu hidup melajang. Dalam Westminster Abbey, yaitu gereja kenegaraan di Britania Raya, terdapat ukiran yang mengingatkan orang-orang akan mereka.

Gambar: George F. Handel

Walau ada sekian banyak kesamaan dalam kisah hidup kedua warga kota London itu, mereka akan heran seandainya mengetahui bahwa hasil karya mereka berdua akan terpadu menjadi salah satu lagu Natal yang paling disukai di seluruh dunia.

Mengapa mereka akan heran? Bagaimana hasil karya mereka berdua terpadu menjadi satu? Pertanyan-pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam kisah di bawah ini.

Saduran Mazmur

Apakah umat Kristen biasa menyanyikan mazmur pada hari Natal? Tidak, bukan? Memang ada aliran gereja yang masih berpendapat bahwa sumber utama nyanyian rohani hanyalah Kitab Mazmur. Dalam gereja seperti itu, syair-syair rohani dari zaman Perjanjian Lama dianggap kurang cocok untuk perayaan kelahiran sang Juru Selamat.

Walaupun demikian, hampir semua aliran gereja -- yang mengutamakan nyanyian mazmur maupun yang tidak -- sudah biasa menyanyikan mazmur pada hari Natal. Mengapa? Karena lagu Natal karangan Isaac Watts yang kita bahas saat ini adalah saduran Mazmur pasal 98.

Pada masa hidup Isaac Watts, kebanyakan gereja di negara Inggris sangat terikat pada Kitab Mazmur. Lagu-lagu rohani yang lain tidak diterima. Sayang sekali, terjemahan Kitab Mazmur yang dipakai pada masa itu kurang baik. Tidak mengherankan jika nyanyian jemaat pada masa itu kurang bersemangat!

Isaac Watts berusaha memperbaiki keadaan itu melalui dua cara yang berbeda. Ia mengarang banyak nyanyian pujian yang hingga kini masih terdengar di seluruh dunia. Ia juga menggarap kembali isi Kitab Mazmur.

"Mengapa kita harus menyanyikan nama-nama tempat di tanah Palestina yang belum pernah kita lihat?" tanya Dr. Watts. "Mengapa kita harus menyanyi tentang busur dan panah, tentang perang dengan tombak dan pedang? Mengapa Raja Daud, pengarang utama Kitab Mazmur, tidak boleh diajak bicara seperti orang masa kini?"

Justru itulah yang dilakukan oleh Isaac Watts. Pada tahun 1719 ia menerbitkan koleksi lagu rohani yang berjudul: Mazmur Daud dalam Bahasa Perjanjian Baru dan Diterapkan Pada Keadaan dan Kebaktian Umat Kristen.

Di antara syair-syair lagu itu ada yang sudah menjadi lagu pilihan umat Kristen di seluruh dunia. Salah satu di antaranya adalah sebuah lagu Natal yang penuh sukacita. Lagu itu digubah berdasarkan Mazmur 98:4-9.

Gambar: Isaac Watts

Si Gemuk dari Jerman

Pria yang satunya lagi, yang juga tinggal di kota London pada masa Dr. Watts menjadi seorang pendeta dan sastrawan ternama, bernama George F. Handel; ia lahir pada tahun 1685 dan meninggal pada tahun 1759. Seperti Isaac Watts, George F. Handel juga akan heran seandainya ia tahu bahwa hasil karya mereka berdua di kemudian hari akan terpadu menjadi sebuah lagu yang sangat indah dan yang akan tetap mengalun pada setiap hari Natal.

George Handel lahir di negeri Jerman; ibunya putri seorang pendeta. Sejak kecil ia sudah diajarkan isi Alkitab. Oleh ayahnya, George dilarang belajar musik. Tetapi bakat musiknya begitu mendarah daging sehingga tidak mungkin dapat terus dipendam. Ia sering bangun tengah malam, lalu memainkan piano kecil -- pelan-pelan -- agar ayahnya tidak terjaga. Akhirnya orang-orang mengetahui bahwa George Handel mempunyai bakat musik yang cemerlang. Mereka membujuk sang ayah supaya rela menerima bakat bocah kecil itu.

Pada umur sebelas tahun, George Handel sudah mulai mengarang musik. Ia belajar dari guru-guru besar di Jerman dan di Italia. Setelah merantau beberapa tahun di Italia dan berkeliling dari negara yang satu ke negara yang lain, akhirnya ia menetap di Inggris. Pada waktu itu ia berumur 27 tahun.

Banyak orang Inggris tidak begitu menyukai George Handel. Badannya besar -- ia memang gemar makan makanan yang lezat --, pakaiannya agak mentereng, suaranya keras, logat Jermannya begitu khas. Ia sering marah-marah kepada orang-orang yang berbantah-bantahan dengannya.

Tidak mengherankan kalau kebanyakan anggota gereja di Inggris tidak memandang dia sebagai teladan seorang Kristen. Ia hanya dihormati sebagai musikus besar. Tetapi sesungguhnya di balik penampilan luarnya yang agak kurang menyenangkan itu, ia seorang pengikut Kristus yang saleh dan setia.

Musik Surgawi

Setelah membuat banyak opera (drama dengan musik) dan berbagai karangan lainnya, George F. Handel mulai menulis oratorium (kantata agung, atau gubahan musik berdasarkan isi Alkitab). Seorang pemimpin Kristen pernah menawarkan Handel susunan ayat untuk diterapkan pada musik karangannya. Handel menolak tawaran itu dengan ucapan yang cukup tajam. "Saya tahu isi Kitab Suci; saya sanggup memilih sendiri ayat-ayat yang cocok!"

Oratorium hasil G.F. Handel dengan judul "Ratu Ester, Raja Saul, dan Bangsa Israel di Mesir" dipentaskan di teater umum, bukan di gereja. Itulah sebabnya banyak orang Kristen menentang pertunjukan-pertunjukan itu. "Tidak pantas kalau isi firman Tuhan dipentaskan di atas panggung," keluh mereka. Lalu mereka sengaja menjadwalkan kegiatan gereja pada hari dan jam yang sama dengan pertunjukan oratorium karangan George Handel.

Karangan Handel yang terbesar, oratorium Mesias, diciptakannya dalam waktu 24 hari saja. Selama hari-hari itu ia sering lupa makan dan lupa tidur. Selama itu juga ia tidak keluar dari rumahnya, satu kali pun tidak. Pernah ada seorang pelayan rumah tangga yang membawakan makanan baginya. Ia melihat komponis yang berbadan besar itu berjalan kian ke mari di kamarnya. Saat itu George Handel sedang berseru, "Haleluya! Haleluya!" sambil berurai air mata. Di kemudian hari, musikus itu bersaksi: "Rasanya seluruh isi surga terbentang di depan mata saya, dan saya melihat Yang Mahabesar!"

Tetapi G.F. Handel sudah mendapat "pelajaran" dari pengalamannya yang sudah-sudah. Ia tidak mau menimbulkan permusuhan lagi dengan umat Kristen. Maka ia memutuskan untuk tidak mementaskan oratorium Mesias di kota London. Naskah musik yang tebal itu hanya disimpan saja di laci meja tulisnya.

Pada tahun 1724 George Handel mendapat kesempatan untuk pergi ke Dublin, ibu kota Irlandia. Di sanalah oratorium Mesias dipanggungkan untuk yang pertama kalinya. Dari sana pulalah oratorium yang paling agung itu berkeliling mengitari bola bumi. Siapakah yang belum pernah mendengar lagu "Haleluya!" yang sangat terkenal itu, atau gubahan lainnya dari oratorium Mesias?

Sebagai seorang musikus Kristen yang sungguh-sungguh mempersembahkan bakatnya kepada Tuhan, sikap hati George F. Handel tercermin melalui suatu peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian -- setelah oratorium Mesias menjadi tenar:

Seorang bangsawan Inggris mengucapkan selamat kepada George Handel atas "hiburan" yang diberikannya kepada hadirin melalui pementasan oratorium itu.

Tuhanlah yang tahu hati manusia
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Jawab G.F. Handel, "Pak, saya menyesal kalau hanya menghibur mereka saja; maksud tujuan saya ialah menjadikan mereka orang-orang yang lebih baik."

Menjelang akhir hidupnya, George F. Handel menjadi buta. Namun ia masih sanggup memainkan orgel dan memimpin konser. Sesuai dengan doa permohonannya, ia meninggal pada hari Jumat Agung tahun 1759, "supaya saya dapat bertemu dengan Tuhan dan Juru Selamat saya tepat pada hari kebangkitan-Nya," demikianlah kata-kata George Handel menjelang akhir hidupnya.

Baru Dipadukan Satu Abad Kemudian

Pada tahun 1836, hampir satu abad sejak George F. Handel maupun Isaac Watts meninggal, seorang musikus Amerika bernama Lowell Mason (1792-1872) memadukan hasil karya mereka berdua sehingga menjadi lagu "Kesukaan Bagi Dunia" yang kita kenal sekarang. Lowell Mason adalah seorang yang giat sekali mengarang, juga giat menyusun kembali lagu-lagu karangan orang lain.

Dua bagian oratorium Mesias karangan George F. Handel rupanya disatukan oleh Lowell Mason sehingga menjadi melodi yang diterapkan pada "saduran" Mazmur 98 karangan Isaac Watts. Nyanyian itulah yang selalu terdengar pada setiap hari Natal: lagu "Kesukaan Bagi Dunia".

Pada masa hidupnya, Isaac Watts mungkin termasuk orang Kristen yang tidak begitu setuju kalau musik yang bertemakan Alkitab dipentaskan di teater umum. Tetapi Tuhanlah yang tahu hati manusia. Tentu saja, Isaac Watts dan George F. Handel akan merasa senang seandainya dapat mendengar hasil karya mereka berdua berkumandang dari tahun ke tahun saat umat Kristen merayakan kedatangan sang Juru Selamat.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku : Kisah Nyata di Balik Lagu Pilihan
Judul artikel : Lagu Sukacita Seluruh Dunia
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Lembaga Literatur Baptis, Jakarta 2007
Halaman : 357-363