Komersialisasi Natal

Oleh: Peserta Kelas Diskusi Natal Nov/Des 2011 - Linda

Natal telah tiba! Damai di bumi, damai di hati. Yang terakhir merupakan ucapan berisi harapan agar damai benar-benar hadir di bumi dan di hati umat manusia. Itulah sejatinya yang terjadi, tetapi industri dan konsumsi telah mengubah segalanya.

Sejatinya perayaan Natal itu merenungkan makna kelahiran Raja Damai, Sang Juru Selamat yang datang sebagai inkarnasi Allah, agar umat manusia yang berdosa, memperoleh anugerah berupa pengampunan. Sehingga selama berabad-abad manusia berusaha mencari keselamatan dengan berbagai upaya tanpa ada jaminan berhasil, sekarang keselamatan itu sendiri telah datang berupa anugerah. Namanya juga anugerah, itu diberikan cuma-cuma, tinggal kita sebagai umat manusia terima saja, kemudian sebagai akibatnya, ungkapan terima kasih kita telah menerima anugerah, kita berbuat baik. Jadi bukannya kita berbuat baik dulu untuk mendapatkan keselamatan. Biarpun keselamatan itu jelas-jelas sudah dipermudah, tetapi masih saja banyak umat manusia yang sangsi bahkan sama sekali tidak percaya kalau keselamatan itu memang semudah anugerah sejati.

Perayaan Natal di era industri yang sudah maju, plus pola konsumsi dan rutinitas hidup di zaman kini, sudah menggeser makna Natal yang tadinya merenungkan anugerah, sekarang jadi berlomba-lomba unjuk gengsi, unjuk raup keuntungan. Ini pula yang terjadi dengan peringatan hari-hari khusus lannya seperti Hari Kasih Sayang, Hari Ibu, Paskah dan hari-hari raya lainnya. Jika kita sempatkan main ke pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar, memang banyak lagu-lagi Natal (Christmas Carol) diputar menemani pengunjung. Tetapi sejatinya usaha yang ingin menangguk untung, pemutaran lagu-lagu Natal itu dimaksudkan secara psikologis untuk mendorong nafsu konsumtif. Inilah hebatnya pelaku usaha yang jeli.

Apalagi umumnya anak-anak suka sekali mendengarkan lagu-lagu Natal yang riang seperti Santa Claus Coming To Town, Winter Wonderland, Rudolph The Red Nose Reindeer, yang sebetulnya tidak ada kaitan langsung dengan kelahiran Kristus. Anak-anak adalah penentu, salah satu pembuat keputusan kalau sebuah keluarga berbelanja ke pusat perbelanjaan, sehingga para pelaku usaha dengan jeli, menyenangkan hati anak-anak, supaya bisa bujuk orang tuanya untuk keluarkan uang berbelanja dengan alasan Natal. Masalahnya sekarang, memang belanja untuk keperluan Natal didiskon besar-besaran, tetapi alasan Natal pula, harga-harga kebutuhan pokok malah naik, mencekik masyarakat yang kemampuan ekonominya lemah.

Perilaku Natal yang sudah bukan lagi merenenungkan anugerah juga bahkan sudah merambah masuk ke gereja-gereja. Sudah beberapa masa saya perhatikan di beberapa gereja besar, perayaan Natal dimaksudkan justru untuk menambah pundi-pundi dan meningkatkan gengsi. Makna Natal tergusur oleh hal-hal keduniawian.

Ada di beberapa gereja, para umatnya hanya sibuk memikirkan bagaimana menampilkan pertunjukkan yang spektakuler supaya banyak dikunjungi jemaat, utamanya untuk menjaring jemaat yang hanya ke gereja setahun cuma 2 kali, saat Natal dan saat Jumat Agung. Selesai perayaan Natal di gereja, kemudian berubah jadi manusia-manusia pesta berhura-hura. Kesibukan mengurus pertunjukkan sespektakuler mungkin dan berpesta semeriah mungkin, akhirnya malah menghilangkan makna suci Natal itu sendiri dan menghancurkan arti suci dari sikap melayani Tuhan.

Saya bahkan mendapat bocoran informasi dari beberapa rekan sepelayanan dari berbagai gereja dan berbagai aliran Kristen di Indonesia, masa-masa Natal ini rupanya menjadi kesempatan beberapa oknum artis Nasrani untuk jadi mata duitan. Seorang artis terkenal minta bayaran minimal Rp 20 juta untuk sekali tampil menyanyikan 3 lagu pujian saja di depan jemaat suatu gereja. Ada artis lain yang bersedia menyumbang penampilan tetapi jadwalnya sudah penuh dengan bookingan tampil di beberapa gereja sekaligus. Ada yang lebih sinting lagi, si artisnya minta dibayar per lagu kalau mau dia datang untuk tampil. Sekelompok anggota paduan suara, datang pas-pasan waktunya ke suatu kebaktian Natal suatu gereja kecil, tepat ketika mereka harus tampil menyanyi dan segera setelah selesai menyanyi, anggota-anggota paduan suara tersebut bergegas pergi dengan alasan sudah ditunggu bernyanyi di gereja lain. Beberapa orang pengkotbah mengaku menjelang Natal, menerima tawaran berkotbah hingga 60 kali. Kalau satu bulan ada 30 hari, maka itu artinya selama sehari para pengkotbah itu berkotbah dua kali. Fantastis! Saya jadi bertanya-tanya, kalau bisa menerima sampai 60 kali berkotbah untuk Natal saja, apakah nanti isi kotbahnya hanya berupa pengulangan atau bahkan kotbahnya bukan soal renungan Natal tetapi untuk mencari nama si pengkotbah itu sendiri?

Sudah begitu ada beberapa oknum jemaat yang rajin bertanya mengenai jadwal perayaan Natal gereja-gereja sekota, hanya untuk bisa menonton penampilan artis yang tampil. Jadi, oknum jemaat tersebut datang ke gereja bukan untuk bersukacita karena kelahiran Kristus tapi sukacita karena mau nonton artis.

Saya tuliskan ini karena prihatin akan bergesernya makna Natal. Saya bukan anti belanja di saat Natal, mumpung diskon. Saya juga bukan anti sama artis-artis yang mau datang melayani saat Natal dan kebetulan dibayar atas pelayanannya itu. Juga bukan karena anti membuat drama Natal. Tidak perlu juga antipati terhadap para pelaku usaha yang berusaha meraup untung selama Natal. Bagi yang memberikan pelayanan berupa tampil di pertunjukkan Natal juga tidak perlu menjadi perdebatan. Semua itu silakan saja sepanjang tujuannya bukan untuk mencuri kemuliaan Tuhan dan mencari keuntungan diri sendiri demi gengsi. Hal yang terutama adalah: Selayaknyalah Tuhan Yesus Kristus Raja Damai Si Pembawa Kabar Sukacita lebih dimuliakan melebihi hal-hal yang tadi.

Selamat Natal 2011 dan selamat menyambut Tahun Baru 2012. Kiranya damai dan sukacita Natal dari Kristus menyertai kita sekalian.

Soli Deo Gloria, hanya kepada Tuhanlah segala hormat kemuliaan!

Regards,
Linda