Inkarnasi

Inkarnasi dalam bahasa Latin in carne (Griech.: en sarki; Engl.: in flesh). Dalam Alkitab memang seringkali dikatakan bahwa Yesus Kristus itu menjadi daging. Menjadi suatu perdebatan teologis apakah Yesus Kristus sebelum turun ke dalam dunia sudah mempunyai natur manusia atau Dia menjadi daging baru memiliki natur manusia. Suatu perdebatan yang sulit kalau kita mau diskusikan di sini dan saya juga tidak akan membahas hal ini. Yesus Kristus yang adalah Allah, Allah yang adalah Roh, turun ke dalam dunia dan mengambil tubuh sebagaimana tubuh kita sekarang. Inilah yang disebut sebagai inkarnasi. Kita sulit untuk merenungkan secara tuntas atau menghayati kedalaman maknanya. Kita memiliki tubuh dan daging, di mana ketika dikatakan Kristus menjadi daging, lalu kita melihat diri kita, maka Kristus menjadi seperti saya. Kita tidak mengerti secara tuntas perendahan itu seperti apa karena kita tidak pernah bereksistensi sebagai Roh seperti Allah dan para malaikat. Pada waktu kita lahir kita sudah mempunyai tubuh dan jiwa/roh. Kalau kita mau membandingkan mungkin kita harus memikirkan satu makhluk ciptaan lain, seperti kita memikirkan diri kita sebagai binatang, batu, tanah dlsb. Inipun kita tidak pernah mengalaminya, sehingga bagaimanapun sangat sulit untuk merenungkan inkarnasi itu. Inkarnasi dalam pengertian secara konsep mudah dipahami, tetapi dalam penghayatan begitu sulit untuk mengerti. Ini tidak berarti ada dualisme antara konsep dan penghayatan, bukan! Melainkan justru konsep itu sungguh-sungguh kita mengerti ketika kita juga menghayatinya. Di dalam iman Kristen kadang-kadang kita justru kagum di dalam kekurang-mengertian secara tuntas, kita kagum dan terharu, dan di dalam keadaan seperti itulah kita mengasihi dan menyembah Tuhan kita.

Gereja Injili seharusnya mempunyai penekanan dalam pemberitaan Injil. Semua orang yang belum menerima Injil Kristus berada dalam murka Tuhan, oleh karena itu kita harus memberitakan Injil, mereka perlu dilahirkan kembali, baru mereka mengalami kehidupan yang indah bersama Yesus Kristus. Itu suatu spirit yang harus kita warisi dan mendarah daging dalam kehidupan kita. Akan tetapi dalam evangelicalism juga ada suatu bahaya yang reduktif di mana kehidupan dipersempit menjadi realita sudah atau belum lahir baru. Setiap gereja seperti memiliki penekanannya sendiri, sehingga seringkali kita bergumul: kapan gereja-gereja mempunyai penekanan yang utuh dan menyeluruh, bukan hanya satu sisi saja. Ketika kita menghadiri suatu gereja yang semangat Injili sangat kuat, kita langsung ditanya, “Kamu sudah lahir baru atau belum?” Jemaat di gereja tersebut sangat concern dengan kelahiran baru seseorang, karena hal itu begitu penting dan Alkitab memang mengatakan hal itu. Tetapi kelimpahan hidupan kristiani bukan hanya dibatasi dengan Tuhan Yesus mati bagi saya, menebus saya, menghapus dosa-dosa saya, setelah itu kita hidup seperti orang-orang lain, bedanya ‘hanya’ ketika kita mati kita mendapat jaminan di surga. Kalau kita mempunyai konsep seperti itu maka iman Kristen tidak terlalu unik di dalam pengaruh terhadap masyarakat karena ‘hanya’ memberitakan kehidupan yang akan datang. Demikian juga ketika kita memikirkan mengenai inkarnasi Kristus menjadi daging, masuk dalam dunia berdosa, bukan hanya semata-mata dalam pengertian bahwa Dia akan mati di kayu salib kemudian menjadi tebusan bagi dosa-dosa kita dan mendapatkan tempat jaminan dengan Allah di surga. Itu adalah pengertian inkarnasi di dalam spirit: “Yesus datang untuk saya dan menggantikan saya lalu selesai.” Kita terus menyampaikan berita tersebut kepada orang lain apakah dia sudah menerima Tuhan Yesus atau belum, lalu apa?

Ketika Alkitab membicarakan mengenai kehidupan Kristus, Dia digambarkan bukan hanya sebagai Penebus atau Juruselamat yang ‘hanya’ mengurusi keselamatan hidup setelah kematian, tetapi sekaligus Dia yang menghidupi kita sehingga seperti dikatakan oleh suatu nyanyian lama (sebagaimana telah dikatakan oleh Paulus) kita dapat mengatakan, “Hidupku bukannya aku lagi, tapi Kristus yang hidup dalamku.” Hidupku bukan aku atau siapapun, tetapi Kristus yang hidup di dalamku. Itu suatu konsep yang sangat luas dan kaya! Ketika kita memikirkan tentang inkarnasi, kita tidak bisa memikirkan terlepas dari konsep seperti itu. Ketika kita berbicara bahwa Yesus sudah turun ke dalam dunia dan sudah merendahkan diriNya begitu rupa dan kita tidak mengalami hal seperti itu, maka iman kita menjadi iman yang sempit, kita ‘hanya’ mengerti bahwa Yesus merendahkan diri dan menjadi miskin supaya kita yang miskin menjadi kaya, Yesus menjadi hina supaya saya menjadi mulia. Kalau iman kita hanya sebatas itu maka kita belum mengerti apa itu inkarnasi, karena perbedaan antara Kristus dengan pendiri-pendiri agama yang lain adalah: Dia bukan hanya memberikan tawaran atau jalan keluar tetapi Dia memberikan diriNya sendiri menjadi jalan itu sendiri, Dia menghidupi hidup saudara dan saya. Itulah perbedaan antara iman Kristen dengan agama-agama yang lain. Tidak ada yang seperti ajaran Yesus Kristus, memberikan jaminan yang pasti, bahwa melalui Roh Kudus Dia akan tinggal di dalam diri orang-orang percaya! Maka inkarnasi bukan hanya suatu spirit yang kita lihat dan kagumi dalam diri Yesus Kristus, tapi juga merupakan suatu spirit yang hidup dalam diri kita, sehingga kita dapat mencicipi apa yang sudah Yesus Kristus alami dan dengan demikian kita mengenal Tuhan bukan hanya secara konseptual, tetapi kita turut mengalami, dalam jangkauan tertentu, sebagaimana telah dialami Tuhan selama di dunia. Itu berarti kita sungguh-sungguh mengenal Tuhan.

Lalu bagaimana kita menghayati spirit inkarnasi jika demikian? Ada beberapa elemen yang terkandung di dalam spirit inkarnasi yaitu:
Yang pertama kerendahan hati (humility). Augustinus ketika ditanya oleh seseorang yang ingin mengetahui rahasia kehidupan kekristenan menjawab ada 3 hal yang sangat penting yaitu kerendahan hati, kerendahan hati, dan kerendahan hati. Seperti seolah-olah selain kerendahan hati tidak ada yang lain karena kerendahan hati begitu sulit untuk mendapatkannya, bukan karena di luar kerendahan hati tidak ada topik yang lain di dalam kekristenan. Kerendahan hati begitu sentral dan begitu pokok dan ketika kita menyaksikan kehidupan Kristus sendiri, kita melihat DiriNya dan seluruh hidupNya, adalah kehidupan kerendahan hati. Dia adalah Allah yang sempurna, Allah yang sejati tetapi mau membatasi DiriNya menjadi seorang manusia yang amat sangat terbatas. Dalam peristiwa Natal kita merenungkan bagaimana Tuhan membatasi diri. Suatu konsep yang tidak bisa dilepaskan dari kerendahan hati. Kerendahan hati Kristus itu terlihat dari turunnya Kristus ke dalam dunia dan menjadi sama seperti saudara dan saya. Kita yang tidak sama seperti Allah tidak bisa sungguh-sungguh mengerti perendahan itu, karena sesama manusia kita berada dalam posisi yang sama. Kita tidak pernah menurunkan diri menjadi ciptaan yang lebih rendah sehingga kita sungguh mengerti perendahan hati Kristus. Perendahan hati yang dilakukan oleh Kristus merupakan kerendahan hati yang absolut, mutlak, sempurna, tidak bisa dilampaui oleh siapapun karena sebagai Pencipta masuk dalam dunia ciptaan. Itu suatu penyangkalan diri yang luar biasa! Kita tidak bisa memikirkan kategori lain di bawah ciptaan, seperti misalnya ketiadaan (nothingness/Nicht-Sein). Kita tidak mungkin turun ke dalam dunia tersebut untuk mengerti inkarnasi, bahkan seandainya menjadi batu pun kita tetap di dalam dunia ciptaan, ciptaan yang lebih tinggi menuju ciptaan yang lebih rendah. Tetapi Yesus Kristus dari Pencipta menjadi seperti ciptaan, seperti dikatakan oleh Kierkegaard, a qualitative difference, menjadi suatu kehidupan di dalam dunia ciptaan, terbatas seperti manusia yang terbatas.

Konteks kita yang hidup di negara maju menjadikan kita sulit berusaha mengerti spirit inkarnasi, karena ketika kita mau memikirkan hal ini kita cenderung dipenuhi oleh cerita-cerita yang sifatnya heroik dan spektakuler. Maksud saya Yesus Kristus dalam kemuliaanNya masuk ke dalam kandang yang hina, sangat heroik. Seperti seorang Albert Schweitzer, Professor di Humboldt-Universitaet yang sangat terkenal, memiliki 4 gelar Doctor, pergi ke Afrika untuk menjadi misionaris. Seperti contoh orang kaya raya yang kemudian meninggalkan seluruh kekayaan serta kehidupan mewah lalu hidup di tempat yang minim, gersang dan hidupnya pas-pasan. Cerita-cerita heroik! Kita setuju orang yang seperti itu ada spirit inkarnasi, tetapi kalau diterapkan dalam hidup kita bagaimana? Mencari gembel dan pengemis, yang kadang-kadang bisa membahayakan kita? Atau sekali-sekali kita pergi ke rumah jompo, rumah sakit? Memang ada spirit inkarnasi di situ (kita yang sehat mengunjungi mereka yang sakit), tetapi yang kita cicipi sangat minim bukan? Mengapa? Karena biasanya kita hanya sementara waktu saja ada di ‘tempat penderitaan’ itu. Pernahkah Saudara mendampingi orang yang sakit berhari-hari, atau bahkan berminggu-minggu? Kalau kita mempunyai pengalaman seperti itu maka kita bisa mengerti lebih mendalam apa spirit inkarnasi. Suatu ketika saya ‘berkesempatan’ menemani ibu saya yang sedang koma di rumah sakit, dia tidak bergerak, saya tidak bisa berkomunikasi dengan dia, bahkan saya juga tidak dapat memastikan ketika saya membelai kepalanya apa dia merasakan sentuhan tersebut atau tidak. Saya berbicara di telinganya dan seperti tidak ada respon. Saya seperti sedang mendampingi ‘batu’ dan menunggui dia sampai beberapa hari. Sejujurnya hal itu sungguh sangat berbeda dengan ketika saya pergi memberitakan Injil di rumah sakit bahkan ketika saya ditolak. Di situ saya mungkin saja menghibur diri dengan mengatakan, “Ya sudah, kali ini ditolak, apa boleh buat, nanti lain kali kan bisa datang lagi.” Kita lalu pergi dan merasakan sukacita di dalam dunia yang lain (di luar dunia penderitaan di rumah sakit tersebut). Tetapi kenyataannya akan sama sekali lain ketika tiap hari kita harus menunggu orang yang menderita. Kita tidak dapat melarikan diri. Itulah yang dialami oleh Tuhan Yesus ketika Dia turun ke dalam dunia mendampingi kita yang berdosa, bahkan lebih daripada itu! Dia berada dalam dunia selama 33,5 tahun, tidak dihormati, tidak dimengerti, dianggap pengacau dan penyesat rakyat, dianggap sepi, dihina, difitnah dan akhirnya dibunuh. What a suffering!

Kita bisa menguji apakah kita adalah orang yang benar-benar rendah hati atau tidak. Kita dapat mengatakan dalam doa pribadi kita, “Ya Tuhan, tolonglah aku yang berdosa ini, penuh kelemahan, ini dan itu ...” Lalu ada orang yang mengatakan, “Memang benar kamu orang yang berdosa, penuh kelemahan, punya kekurangan ini dan itu ...” Kita tidak rela orang lain mengatakan hal itu kepada kita, padahal dalam hati yang terdalam kita mengakui memang seperti itu. Mengapa ada defence mechanism seperti itu dalam diri manusia? Ketika orang lain mengatakan kelemahan kita, dengan seribu satu macam alasan kita menyangkalinya, di situ kerendahan hati yang sejati dipertanyakan. Pada waktu Tuhan Yesus berada di dalam dunia, Ia menderita dengan lebih lagi karena yang dikatakan orang tentang Dia bukan hanya dikatakan oleh orang lain (hal mana kita sendiri seringkali berkeberatan), melainkan bahkan yang dikatakan itu tidak benar. Tapi Tuhan tetap lemah lembut dan panjang sabar, bahkan mengasihi orang yang membenci Dia sampai tetesan darah di atas kayu salib. Inilah spirit inkarnasi yang tidak mudah yang harus kita pelajari dalam hidup ini, kita lemah dan sangat kurang dalam hal ini. Spirit inkaransi adalah spirit yang merendahkan diri.

Yang kedua, spirit inkarnasi adalah seseorang turun untuk membawa orang lain ke atas. Ada 2 gerakan: sendiri turun dan membawa yang lain ke atas. Banyak gereja terjebak dalam salah satu gerakan. Gereja yang idealis membawa orang terus keatas dan enggan untuk turun. Membawa orang ke atas, memberikan suatu konsep yang sangat tinggi tetapi tidak benar-benar terjun ke bawah sehingga akibatnya seringkali kekristenan dituduh sebagai salah satu agama yang menciptakan ghetto, suatu tempat persembunyian yang aman di mana para pengikutnya bertemu dengan orang-orang yang sejenis. Sebaliknya gereja yang lain turun ke masyarakat tetapi tidak memberikan arah yang jelas mau dibawa kemana orang-orang itu, sehingga akhirnya masuk ke dalam sifat kompromi, toleransi, mengasihi tanpa kekudusan. Turun tidak kembali ke atas dan yang lain ke atas terus tapi tidak pernah mau turun.

Tuhan Yesus datang ke dalam dunia dan orang-orang Farisi mengatakan Dia sebagai Guru tapi bergaul dengan orang-orang berdosa. Ketika Ia turun maka orang Farisi sangat terganggu dan paradigma hidup mereka digoncangkan. Pada sisi yang lain, Injil mencatat, Tuhan Yesus tidak pernah kehilangan dignitasNya sebagai Anak Allah. Pelacur yang sudah siap dirajam oleh orang-orang Yahudi mendapatkan belas kasihan dan pengampunan Tuhan Yesus, sekaligus dikatakan kepada dia, “jangan berbuat dosa lagi.”

Dia turun sekaligus menarik orang lain ke atas. Dalam dunia kita menjumpai orang-orang belum percaya memiliki kesukaan yang berbeda dengan kesukaan kita. Kita seringkali berbenturan kegiatan atau aktivitas yang biasa dilakukan. Merupakan suatu pergumulan yang tidak mudah dan terus menerus bagaimana kita hidup dalam cinta kasih, memperhatikan, berkorban bagi orang lain dan membawanya ke dalam kehidupan yang kudus dan berkenan kepada Allah.

Kita membaca dalam surat Ibrani di mana Tuhan Yesus pun juga melakukan hal yang sama. Ayat 17 “Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudaraNya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan (compassion) dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa.” Inilah paradoks antara berbelas kasihan kepada manusia dan setia kepada Allah. Berbelas kasihan secara horizontal dan setia kepada Allah secara vertikal. Spirit inkarnasi juga merupakan spirit belas kasihan (compassion), maksudnya adalah saya hidup bersama-sama, sepenanggungan bersama-sama dengan orang yang saya kasihi. Dalam bahasa Indonesia ada perbedaan antara berbelas-kasihan dan mengasihani. Yang pertama alkitabiah, yang kedua, jika kita tidak hati-hati bisa membangkitkan kecongkakan. Jangan kita melayani dengan spirit mengasihani gereja, seolah-olah kita adalah penolong dan penyelamat kekristenan. Tuhan tidak memerlukan itu semua! Sebaliknya belas kasihan atau compassion merupakan spirit yang mau hidup bersama-sama di mana waktu dia bersuka-cita saya bersuka-cita, waktu dia berduka-cita saya juga berduka-cita. Apakah kita termasuk orang yang lebih gampang bersuka-cita bersama-sama atau berduka-cita sama-sama? Ada orang yang lebih gampang bersuka-cita bersama-sama, tapi kalau kesusahan datang dia pergi, mungkin karena hidupnya sendiri sudah terlalu susah. Sebaliknya, orang-orang temperamen tertentu lebih bisa berduka-cita daripada bersuka-cita. Bahkan kalau berduka-cita bisa ikut menangis, tetapi kalau kesenangan datang pada orang lain dia jadi iri. Mungkin karena hidupnya selalu berduka-cita sehingga susah menerima kenyataan sukacita.

Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa dalam compassion waktu orang berduka-cita kita ikut berduka-cita dan waktu orang bersuka-cita kita juga ikut bersuka-cita. Dan itulah yang dilakukan oleh Yesus Kristus waktu Ia berada di dunia. Dia bukan mengajar dari surga di atas tahta kemuliaan, melainkan hidup bersama-sama dengan orang-orang yang Dia layani. Itulah semangat inkarnasi.

Seringkali kita berpikir inkarnasi adalah konsep dari atas ke bawah, tetapi sesungguhnya kita juga bisa mengertinya sebagai tindakan untuk berkorban dan menyangkal diri ketika saya menjumpai yang lain, yang bukan saya, yang sama sekali asing. Di dalam pemikiran postmodern ada seorang filsuf yang terus-menerus memikirkan satu tema pokok yaitu “yang lain”, “the other”, “orang lain”. Menurut dia, seluruh pemikiran modern direduksi/disempitkan/dikuasai oleh pemikiran yang ego, maksudnya segala sesuatu didasarkan oleh penilaian saya, acuan saya, segala yang starting point dari diri saya. Contohnya waktu saya berteman saya lebih suka dengan orang yang bisa berkomunikasi dengan baik dengan saya. Kalau saya melucu dia tertawa, jangan kalau saya melucu dianya bingung, lalu ketika giliran dia melucu saya rasa tidak lucu. Kita kurang senang bergaul dengan orang seperti itu. Inti sebetulnya kita suka bergaul dengan orang yang di dalam dirinya ada bayang-bayang diri kita. Misalnya, saya senang dengan orang yang suka musik karena saya melihat bayang-bayang diri saya sendiri dalam orang itu. Lainnya, saya senang dengan orang-orang yang berbahasa Indonesia karena saya melihat bayang-bayang diri saya di dalam orang-orang itu. Lalu dikatakan oleh filsuf itu, itu namanya seluruh interaksi kita dikuasai oleh mitos kesamaan, uniformity, keseragaman. Bagi dia, kita belum benar-benar mengasihi. Kalau etika kita dibangun di dalam konsep seperti itu maka kita adalah orang yang betul-betul egois dan tidak mengerti kemanusiaan dan etika. Maka dia membalik acuannya bukan lagi saya tetapi orang lain. Jadi waktu saya berjumpa dengan orang lain, hidup saya adalah pertanggung-jawaban bagi orang lain. Apakah gunanya saya hidup kalau bukan untuk orang lain? Ini adalah satu kalimat yang sangat radikal. Pernahkah berpikir seperti itu? Biasanya kita berpikir untuk apa kita hidup kalau orang lain tidak bertanggung jawab kepada kita, untuk apa saya hidup kalau orang lain tidak mengasihi saya. Tetapi filsuf ini membalik dengan “untuk apa saya hidup kalau saya tidak bertanggung jawab dan tidak hidup untuk sesama?” Suatu kalimat yang hampir-hampir seperti etika Kristen. Filsuf itu adalah seorang penganut Yudaisme, seseorang yang sangat mengenal Perjanjian Lama. Suatu kalimat penyangkalan diri yang luar biasa! Dia terus membicarakan bagaimana manusia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi hidup bagi yang lain, bagi yang asing, bagi yang bukan saya. Tetapi dia tidak memberitahukan bagaimana orang bisa hidup seperti itu.

Hanya di dalam firman Tuhan, yaitu dengan semangat inkarnasi. Semangat inkarnasi itu adalah satu-satunya semangat yang bisa membawa kita kepada yang lain. Karena waktu kita berjumpa dengan yang lain, meskipun kita tidak melihat diri kita di situ kita tetap bisa masuk menembusi dunia ‘yang lain’ itu, seperti Kristus yang masuk dan menembus dunia yang bukan duniaNya. Itulah semangat inkarnasi. Kita mencari orang yang lebih rendah, lebih bodoh, lebih miskin mungkin tidak mudah untuk menjumpai orang-orang seperti itu di negara maju. Tetapi bagaimana dengan mencari orang yang sama sekali lain dengan kita? Bahkan mungkin orang-orang yang lebih hebat daripada kita. Jangan kita selalu berpikir inkarnasi itu kita yang di atas lalu turun ke bawah (itu hanya benar bagi Kristus yang adalah Allah Yang Mahatinggi). Sebab kalau kita terus-menerus berpikir seperti itu, akhirnya kita terjebak di dalam semangat inkarnasi “mengasihani” (bukan compassion). Oleh karena itu orang yang kesukaannya lain, profesinya lain, pembicaraannya lain, dunianya lain, apakah kita rela masuk menjumpai mereka? Sama seperti Kristus yang memasuki wilayah hidup kita yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Dia yang bertahta di surga.

Di dalam jaman pluralis ini orang berpikir bagaimana bisa ada suatu keharmonisan sementara dunia ini semakin menampakkan dirinya sebagai dunia yang diverse, dunia yang beraneka ragam. Ada orang agama ini dan itu, latar belakang ini dan itu, timur dan barat, dsb. Para filsuf terus memikirkan bagaimana memperjuangkan kemanusiaan yang harmonis. Mereka tidak ada jalan sehingga kita melihat realita bahwa dunia sekeliling kita adalah dunia yang terpecah-pecah (fragmented). Keaneka-ragaman itu menyebabkan dunia kita terpecah-pecah. Banyak orang di dunia ini pun fragmented karena tidak mampu mengharmoniskan, akhirnya terjadi pergumulan ego melawan ego. Kadang-kadang kita melihat keadaan sepertinya tenang, apakah itu harmonis? Jangan-jangan itu karena kekuatan yang satu sama dengan kekuatan yang lain. Yang satu mau menindas tidak kuat demikian pula sebaliknya. Tidak ada persatuan yang sejati. Yang ada hanyalah bom waktu, yang pada saatnya akan meledak dan pecah. Itulah yang disebut disintegrasi. Seringkali keharmonisan yang semu itu dibangun atas dasar equalitas ego, ego yang sama-sama kuat, maka karena sama-sama kuat kelihatannya seperti harmonis padahal sebenarnya tidak. Di dalam kekristenan mengajarkan keharmonisan yang sama sekali lain, yaitu melalui semangat inkarnasi. Dengan semangat inkarnasi kita masuk ke dunia yang sama sekali lain, kita menyangkal diri, kita masuk ke satu wilayah yang kita sendiri merasa tidak nyaman. Pernahkah kita mengalami masuk ke dalam suatu percakapan, di mana banyak orang saling berkomunikasi sementara perkataan kita tidak bisa mereka mengerti. Berapa lama kita bisa tahan dalam pembicaraan itu? Itulah yang justru Tuhan Yesus lakukan di dunia. Dia berbicara tetapi orang tidak mengerti malah dianggap kerasukan setan dan gila, padahal Kristus sungguh mengetahui apa yang Ia katakan. Itulah semangat penyangkalan diri, semangat inkarnasi yang seharusnya menjiwai kita sewaktu kita berada dalam dunia. Dengan penderitaan seperti itu, dengan pengorbanan seperti itu, justru Dia memenangkan banyak orang bagi Kerajaan Allah. Janganlah kita bermimpi menarik orang-orang sementara kita berada dalam zone aman dan nyaman (comfort zone). Pelayanan kita tidak akan efektif dalam cara seperti itu. Kadang-kadang Tuhan tempatkan kita berada dalam satu situasi yang kita merasa tidak nyaman, tetapi cara-cara itulah yang seringkali diberkati dan dipakai oleh Tuhan. Mari kita memohon kepada Tuhan agar Dia memberikan semangat inkarnasi, semangat mau berkorban, semangat merendahkan diri, membatasi diri, memiliki belas kasihan yang sanggup memasuki dunia sesama kita.