Natal yang Paling Berkesan
Mengapa Natal yang satu lebih berkesan dari Natal yang lain? Biasanya tidak ada hubungannya dengan pemberian yang bersifat jasmaniah. Bahkan, kemiskinan biasanya justru membangkitkan kreativitas dalam sebuah keluarga.
Tetapi, saya rasa Natal yang paling berkesan biasanya terkait dengan titik-titik tertentu dalam keluarga, seperti: reuni, perpisahan, kelahiran, bahkan kematian. Mungkin itulah sebabnya Natal tahun 1960 terekam jelas dalam ingatan saya.
Kami menghabiskan Natal di Evergreen Farm di Lincoln, Virginia -- rumah orang tua saya. Kami mengadakan pertemuan keluarga bersama adik saya dan suaminya, Emmy dan Harlow Hoskins, serta kedua anak perempuan mereka, Lynn dan Winifred. Ini adalah acara keluarga biasa bersama ketiga anak kami, Linda, Chester, dan Jeffrey, juga Peter John yang saat itu hampir merampungkan kuliahnya di Yale. Lima anak dapat membawa semangat pesta bagi rumah pertanian yang sudah tua.
Untuk kebaktian Malam Natal, Lynn dan Linda telah menyiapkan altar spesial di depan perapian ruang keluarga. Jeffrey dan Winifred (cucu termuda) menyalakan semua lilin. Kemudian, dikelilingi segenap anggota keluarga. Ayah saya membacakan kisah terindah yang disampaikan Lukas tentang Natal yang pertama. Kami pun menyanyikan lagu-lagu Natal, bersama Chester dan Winifred yang berduet, "Hark, the Herald Angles Sing," dengan suara melengking. Kemudian ibu saya, si pendongeng dalam keluarga, membawakan kisah tua favorit kami, "Malam Ketika Lonceng Tersebut Berdentang." Ia menghanyutkan kami saat menceritakan bagaimana sang anak laki-laki kecil mengendap-endap sepanjang gang katedral dan meletakkan hadiahnya di atas altar.
Kemudian Ibu berkata, "Saya ingin memberikan sebuah usulan. Lantai di bawah pohon Natal telah dipenuhi tumpukan kado-kado yang akan saling kita berikan. Tetapi, saat ini kita merayakan ulang tahun Kristus, bukan ulang tahun kita. Hari ini adalah milik-Nya. Jadi, apa yang akan kita berikan kepada-Nya?"
Ruang tersebut mulai ribut karena masing-masing saling berbisik. Tetapi, Ibu melanjutkan, "Mari kita memikirkannya sejenak. Kemudian kita membentuk lingkaran dan setiap orang harus menyebutkan hadiah apa yang akan ia letakkan di atas altar untuk ulang tahun Kristus."
Chester, 7 tahun, mendekati ayahnya dan berbisik untuk berkonsultasi. Kemudian ia berkata sambil tertunduk malu, "Yang akan kuberikan kepada Yesus tahun ini adalah berusaha untuk tidak mudah marah lagi."
Jeffrey, 4 tahun, yang masih kerap mengompol, langsung berujar, "Aku akan memberikan popokku kepada-Nya."
Winifred berkata perlahan bahwa ia akan memberikan nilai sekolah yang bagus bagi Yesus. Pemberian Len adalah, "Berusaha menjadi ayah yang lebih baik, yang berarti aku harus lebih sabar lagi."
Demikianlah kegiatan berlanjut ke setiap orang. Pemberian Peter John singkat tapi penting. "Yang akan aku berikan kepada Kristus adalah kehidupan yang lebih berdedikasi." Saya mengingat kembali kalimat tersebut lima tahun kemudian saat ia ditahbiskan menjadi pendeta Presbyterian, ketika ia berdiri tegap dan menjawab dengan lantang, "Saya percaya... Saya berjanji..." Sekalipun, pada Natal 1960, pelayanan gereja mungkin tidak pernah terpikir sama sekali dalam benaknya.
Kemudian, tibalah giliran Ayah. "Aku tidak yakin apakah baik mengangkat topik ini," ucapnya, "Tetapi, entah mengapa aku tahu bahwa ini adalah Natal terakhir yang akan aku jalani bersama keluargaku seperti saat ini."
Kami terkejut dan mengajukan protes, tetapi ia tetap melanjutkan. "Tidak, aku sangat ingin mengatakan hal ini. Aku telah menjalani hidup yang sangat menyenangkan. Dulu, telah lama aku menyerahkan diriku kepada Kristus. Sekalipun aku mencoba untuk melayani Dia, aku sering gagal. Tetapi, Ia telah memberkati aku dengan berbagai kekayaan besar, khususnya keluargaku. Aku ingin mengatakan hal ini selagi kalian semua ada di sini. Mungkin tidak akan ada kesempatan lain. Sekalipun aku nanti masuk ke dalam kehidupan selanjutnya, aku akan selalu beserta dengan kalian. Dan, tentu saja, aku akan menunggu kalian semua di sana."
Kasih memancar dari matanya yang coklat dan air mata berlinang di pipi kami. Semua terdiam sejenak. Waktu seakan-akan berhenti di ruang yang sepi. Cahaya api perapian dan lilin bermain-main di wajah anak-anak saat mereka memandang kakek mereka, berusaha mengerti apa yang sedang ia ucapkan. Bau kayu balsem dan cedar memenuhi ruangan. Jendela-jendela tua merefleksikan cahaya merah dari lampu-lampu Natal.
Ayah memang meninggalkan dunia ini 4 bulan kemudian - tepatnya pada tanggal 1 Mei. Kepergiannya seperti sebuah ucapan syukur. Ia meninggal ketika sedang duduk di kursinya di kantor pos desa, saat sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya. Jantungnya berhenti begitu saja. Pada Malam Natal tersebut, Ayah dengan kepastian yang aneh telah mengetahui bahwa waktunya sudah hampir tiba.
Sekarang, setiap kali saya mengingat Ayah, saya dapat melihat dengan jelas adegan di ruang keluarga, seperti sebuah kenangan indah di antara kenangan-kenangan lain yang membentuk hidup kami. Saat itu, saya dapat memfokuskan diri kembali pada nilai-nilai hidup yang berharga: betapa Ayah menghargai hidup; iman Ibu yang kuat, kekuatan suami saya yaitu ketenangannya; hasrat dalam diri anak saya yang memancar dalam bentuk ambisi masa mudanya; wajah anak-anak yang bernafsu mengejar pengertian dan kebenaran; kasih Tuhan yang sangat besar saat kita merayakan kembali hari kelahiran-Nya.
Itu adalah kenangan Natal saya yang terindah.
Diambil dari:
Judul asli buku | : | Guideposts for The Spirit: Christmas Stories of Faith |
Judul buku terjemahan | : | Guideposts bagi Jiwa: Kisah-kisah Iman Ntal |
Penulis artikel | : | Catherine Marshall |
Penerjemah | : | Mary N. Rondonuwu |
Penerbit | : | Gospel Press, Batam 2006 |
Halaman | : | 93 -- 98 |