"The Last Waltz"

Namaku Lily, kami tinggal di sebuah kota kecil di Manado. Sejak muda, ibuku senang sekali menari. Untuk itu, saat pernikahannya, Ayah meminta agar tarian terakhir ibu dipersembahkan untuknya. Maka dari itu, lagu pertama pada saat ibu menari adalah "The Last Waltz" dari Engelbert Humperdinck. Dan rupanya ini benar-benar menjadi kenyataan, karena beberapa bulan kemudian pada saat melahirkan aku, ibu meninggal dunia.

Daddy -- begitulah aku memanggil Ayah, karena kasihnya kepada ibu, Daddy tidak pernah mau menikah lagi. Aku dibesarkan oleh Daddy dan Nenek, dan setiap malam Natal, sudah merupakan tradisi bagi Daddy untuk selalu mengalunkan lagu kesayangannya, "The Last Waltz", sambil mengingat ibu. Ketika aku berusia 5 tahun, Daddy mengajari aku menari waltz.

Sejak saat itu, setiap malam Natal, kami menari waltz berdua. Pada hari ulang tahunku yang kedua belas, bertepatan dengan malam tahun baru, Daddy memberikan hadiah kepadaku berupa "long dress" berwarna merah, dan kami berdua menari waltz.

Pada saat itu, aku benar-benar merasa seperti sang putri dalam kisah Cinderella yang sedang menari dengan sang pangeran. Daddy sangat mengasihiku sehingga hampir semua permohonanku selalu dikabulkan olehnya, ia benar-benar mengabdikan hidupnya hanya untukku.

Namun, setiap hari Daddy harus bekerja seharian di kantor dan ia sangat sibuk, sehingga satu-satunya yang membimbing aku di rumah adalah Nenek. Kurangnya perhatian Daddy membuat aku terjerumus dalam pergaulan bebas, dan akhirnya mulai menggunakan dan kecanduan narkoba. Hampir setiap hari aku pulang malam.

Walaupun demikian, Daddy selalu menunggu kepulanganku dengan sabar. Ia baru bisa tidur setelah aku pulang. Pada malam Natal, aku lebih senang merayakannya di diskotek bersama anak-anak muda lainnya daripada bersama Daddy. Karena itulah Daddy merasa sedih, bahkan untuk pertama kalinya aku melihat Daddy mengeluarkan air mata.

Karena kebutuhanku akan narkoba semakin meningkat, akhirnya aku mencuri uang tabungan Daddy yang seharusnya digunakan untuk masa tuanya, dan melarikan diri ke Jakarta dengan harapan aku bisa mendapatkan pekerjaan dan bisa hidup mandiri di sana.

Pada hari-hari pertamaku di Jakarta, aku menumpang di rumah Om. Ternyata, mencari pekerjaan di Jakarta tidak semudah yang aku bayangkan, sehingga akhirnya aku terpaksa melamar bekerja di klub malam "Blue Ocean" sebagai pramuria. Kalau dulu aku menari dengan Daddy, di sana aku terpaksa menari dengan pria yang sebaya dengan Daddy, bahkan tak jarang, aku bersedia menemani mereka tidur di hotel.

Setelah sebulan aku berada di Jakarta, aku menerima surat dari Daddy yang dialamatkan ke kosku, rupanya Daddy mengetahui alamat kosku dari Om. Dalam seminggu, aku menerima tiga surat dari Daddy, bahkan terkadang lebih. Tetapi, tak satu pun suratnya kubalas. Jangankan kubalas, kubuka pun tidak. Aku merasa malu dan tidak berani membaca surat dari Daddy. Aku merasa berdosa terhadap Daddy, bahkan aku merasa jijik terhadap diriku sendiri.

Sudah lebih dari 1 tahun aku di Jakarta. Surat-surat yang kukumpulkan ada dalam beberapa dus. Semuanya kusimpan dengan rapi, hanya sayangnya surat-surat itu sekadar menjadi pajangan bagiku, karena aku tidak berani dan tidak mau membukanya. Aku tidak ingin Daddy mengetahui bahwa gadis kesayangannya, gadis yang demikian dibanggakannya, telah menjadi seorang pramuria, bahkan telah menjadi pecandu berat narkoba.

Beberapa hari sebelum Natal, aku menerima surat lagi, ditulis dengan tulisan tangan yang sama, dan bentuk sampul yang sama. Namun, kali ini tidak dikirim melalui pos maupun ke alamat kosku, tetapi dikirim dan dititipkan langsung ke klub malam tempat aku bekerja. Dan, ketika aku menanyakan siapa yang menitipkan surat tersebut, ternyata dari gambaran yang diberikan, orang yang menitipkan surat itu adalah Daddy. Daddy datang sendiri ke Jakarta hanya untuk mengantarkan surat untukku.

Kali ini, aku tidak tahan ingin membukanya. Dengan air mata yang berlinang, aku membaca surat itu, isinya demikian: "Lily, my dearest beloved princess, Daddy sejak lama tahu di mana kamu bekerja, Daddy meminta satu hal: 'Maukah kamu pulang kembali ke rumah untuk menari bersama Daddy?'"

Setelah membaca surat tersebut, aku langsung pulang ke kos untuk membaca ratusan surat lainnya yang belum kubuka, ternyata semua surat Daddy isinya sama. Ia menanyakan hal yang sama: "Maukah Lily menari lagi bersama dengan Daddy?"

Hari itu juga aku langsung mengambil keputusan untuk pulang. Karena menjelang Natal, hampir semua pesawat "fully book", terpaksa aku membeli tiket dengan harga yang jauh lebih mahal, dengan harapan bahwa aku bisa sampai di rumah sebelum malam Natal.

Setibanya di rumah, Daddy langsung memelukku erat, air matanya berlinang deras membasahi kepalaku. Dengan terisak-isak, Daddy bertanya sekali lagi, "Maukah Lily menari lagi bersama Daddy?" Aku mengangguk sambil menjawab, "Ya, tetapi apakah Daddy tahu, bahwa sekarang ini Lily bukanlah princess Daddy yang dulu? Aku adalah seorang pramuria yang kotor, bahkan telah mengidap penyakit AIDS, apakah Daddy tidak malu menerimaku kembali, apakah Daddy tidak takut ketularan penyakitku?"

Daddy tidak berkata sepatah kata pun, ia bergerak, memutar lagu kesayangannya, "The Last Waltz". Kemudian ia memelukku dengan penuh kasih untuk mengajak aku menari seperti hari-hari Natal sebelumnya, kali ini tidak hanya diiringi irama lagu, tetapi juga oleh tetesan air mata yang berderai.

Tanpa kuketahui, sejak aku meninggalkan Daddy, ia sering bergadang menunggu dan mengharapkan kedatanganku kembali. Selain itu, karena duka yang mendalam, Daddy mengidap kanker. Sekitar 2 minggu setelah Natal, Daddy mengembuskan napas untuk terakhir kalinya.

Rupanya, ia merasakan bahwa kematian telah dekat. Karena itulah, dalam keadaan sakit, ia memaksakan diri pergi ke Jakarta untuk mengantarkan surat kepadaku, hanya untuk mewujudkan keinginannya yang terakhir, agar ia bisa mendapatkan kesempatan sekali lagi menari dengan putri kesayangannya. Masih terngiang-ngiang di telingaku lirik lagu kesayangannya, "The Last Waltz A little girl alone and so shy/I had the last waltz with you/Two lonely people together/I fell in love with you/The last waltz should last forever/But the love we had was goin' strong."

Menjelang Natal ini, banyak orang tua mengharapkan dan menunggu kedatangan anak-anaknya. Bagaimana pun keadaan dan situasi kita saat ini, orang tua kita menerima kita apa adanya, dengan segala kelemahan dan kelebihan kita. Terlebih lagi, mereka tidak mau mengingat kesalahan-kesalahan kita di masa lalu. Hanya satu yang mereka inginkan, yaitu berkumpul bersama putra-putrinya di hari Natal, melihat dan memeluk mereka. Berapa lama lagi kita akan menyuruh mereka menunggu? Datang dan kembalilah sebelum terlambat! Kalau keadaan tidak memungkinkan, teleponlah mereka sambil mengatakan, "Aku mencintaimu, Ayah dan lbu. Selamat Natal."

Renungkanlah: Apabila kita manusia yang penuh dosa bisa mengasihi sedemikian rupa, betapa lebih besarnya kasih Allah, Sang Bapa, yang tanpa dosa dan yang tak pernah memikirkan diri sendiri, kepada kita (Matius 7:11).

Ya, Bayi Suci di Betlehem,
belailah kami dengan tangan-Mu yang mungil,
peluklah kami dengan lengan-Mu yang kecil,
tembuslah hati kami dengan tangis-Mu yang lembut dan manis.
Datanglah kepada kami, tinggallah bersama kami, Ya, Tuhan, Imanuel.
Amin.

-MANG UCUP

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: My Favourite Christmas
Penulis: Mang Ucup
Penerbit: Gloria Cyber Ministries, Yogyakarta 2006
Halaman: 18 -- 25