Tak Ada Natal Keluarga

Aku dibesarkan di tengah keluarga "Bhinneka Tunggal Ika". Orang tuaku adalah orang Jawa yang berpandangan bahwa agama adalah "ageming aji" (baju kehormatan diri). Mereka membebaskan anak-anak memilih agamanya masing-masing. Aku sendiri mengenal kekristenan, sederhana saja, karena diajak tetangga sebelah pergi ke sekolah minggu. Syukurlah, sejauh ini perbedaan agama itu tak pernah menjadi sumber konflik dalam hubungan persaudaraan kami. Ibuku pernah berkomentar dengan bangga, "Kami di sini Pancasila, kok. Ada Al- Quran, ada Injil, ada Tripitaka. Mau apa saja, silakan!"

Setiap tahun, kami merayakan Lebaran bersama-sama, dan aku lebih merasakannya sebagai hari raya orang Jawa. Anak kecil mana yang tidak senang menyalakan petasan dan kembang api, keliling naik andong, sungkem ke sana ke mari sambil menikmati suguhan makanan enak, dan tak jarang diselipi uang saku? Yah, Lebaran adalah kesempatan untuk bersenang-senang sambil bersilaturahmi dan mempererat hubungan persaudaraan dengan tetangga dan keluarga besar. Namun, aku belum pernah merasakan Natal bersama seluruh keluarga. Mudah dimaklumi. Natal, dalam pandangan masyarakat kita pada umumnya, masih terkemas sebagai hari raya khusus umat kristiani, yang berkonotasi dengan Barat. Belum terpadu sebagai bagian dari budaya lokal sebagaimana Lebaran.

Tentu saja, kemudian tak ada kebiasaan mengenakan baju baru, memasang hiasan dan pohon terang, atau menyiapkan hidangan Natal saat hari besar itu menjelang. Natal hanyalah perayaan di gereja atau di sekolah. Hebatnya, pelaksanaan acaranya bisa sejak awal Desember sampai pertengahan Januari. Jadi, selama sebulan lebih, ada saja perayaan Natal di berbagai tempat yang bisa kudatangi. Natal sekolah minggu, Natal umum, Natal bersama Kristen-Katolik, Natal di sana, Natal lagi di situ.

Beberapa minggu sebelumnya, bersama-sama teman sekolah minggu, kami sudah berlatih untuk mengisi acara pada perayaan Natal di gereja. Kegiatan mengisi acara perayaan Natal tersebut bisa dalam bentuk menghafalkan ayat, paduan suara, drama, kelompok vokal, atau pembacaan puisi. Ya, seingatku, aku belum pernah ikut kelompok tari dalam pertunjukan Natal. Namun, sudah bisa ditebak, rangkaian acaranya tidak terlalu bervariasi dari tahun ke tahun. Karena itu, seandainya ada yang menanyaiku tentang kenangan Natal yang paling berkesan pada masa kecil, aku akan mengerutkan dahi. Tentu, aku tidak memungkiri, suasana Natal cenderung menggugah rasa kangen dan sukacita tersendiri. Namun, kalau mesti menuturkan sejumput kisah khusus yang mengesankan, aku mesti berusaha keras membongkar arsip perpustakaan kenanganku.

Salah satu kenangan yang cukup mengesankan itu berkaitan dengan ibuku. Meskipun beliau sendiri tidak pergi ke gereja, Ibu selalu mendukungku untuk beribadah. Ia mengajari aku dan kakakku untuk berdoa sebelum tidur. Sebuah doa generik: doa tanpa "di dalam nama Yesus". Baru setelah aku lumayan besar, dan meniru kebiasaan berdoa di gereja, aku tambahkan sendiri frasa "di dalam nama Yesus". Istimewanya, setiap aku hendak pergi ke sekolah minggu, Ibu menyediakan uang saku khusus untuk kuberikan sebagai "pisungsung" (persembahan). Karena itu, "pisungsung" yang kuberikan bisa mencapai 100 rupiah. Kalau tidak salah ingat, waktu itu dengan uang sebanyak itu, kita masih bisa menikmati dua-tiga mangkuk bakso. Ibu melakukannya secara teratur. Alasannya? "Kalian, kalau Natalan, Paskahan, atau acara lainnya, pasti membutuhkan dana yang besar, sedangkan semuanya tanpa pungutan biaya. Kalau mau memberi sumbangan sebelum acara, belum tentu uangnya ada. Ya, hitung-hitung kita cicil saja seminggu sekali," kata Ibu.

Ibuku, yang bukan seorang teolog, bahkan bukan juga seorang kristiani, telah mengajariku tentang memberi. Kebiasaan Ibu, secara tidak langsung, menanamkan kesadaran pada diriku bahwa pada dasarnya kita memberi karena kita telah terlebih dahulu diberi. Pemberian, dengan demikian, bukan sekadar pernyataan dukungan bagi orang-orang di sekitar kita, namun juga suatu ungkapan rasa syukur. Ketika aku semakin besar dan dapat memahami Alkitab secara lebih baik, aku menemukan bahwa ternyata pelajaran itu sejajar dengan ajaran Alkitab: Kita mengasihi karena Allah sudah terlebih dahulu mengasihi kita. Segala sesuatu aku lakukan bukan untuk mendapatkan kemurahan Allah, melainkan sebagai ungkapan rasa syukur karena anugerah-Nya telah terlebih dahulu dicurahkan bagiku. Bukankah itu juga sebagian dari pesan Natal?

Dalam beberapa kesempatan, Ibu meluangkan waktu untuk memenuhi undangan dengan menghadiri Natal di gereja. Senang rasanya ikut menyanyi dalam paduan suara atau bermain drama Natal, beraksi di panggung, dan menyadari bahwa Ibu sedang menyaksikan dengan penuh rasa bangga, tersenyum di antara para penonton. Sekali lagi, aku mendapatkan sebuah pelajaran berharga: Bagaimana pula aksi kita di atas panggung kehidupan ini saat kita menyadari bahwa Allah Bapa, dengan penuh rasa bangga pula, menyaksikan di surga sana? Pelajaran-pelajaran kecil namun berharga semacam itulah yang mewarnai kenanganku akan Natal.

Kini, setelah aku berkeluarga, aku belum menemukan ide bagaimana mengadakan perayaan Natal khas keluarga kami. Kami biasa melewatkannya bersama komunitas jemaat, dengan drama Natal yang entah bagaimana kerap berpuncak pada penyaliban! Selain itu, kami meluangkan waktu untuk bersilaturahmi kepada sejumlah keluarga kenalan dekat. Kalau masih sempat, aku akan memutar "It's a Wonderful Life", "The Sound of Music", atau "The Lord of the Rings" -- film-film yang kuanggap cocok untuk merayakan Natal. Yang aku tahu, semangat dan sukacita Natal semestinya tidak hanya marak pada setiap 25 Desember, tetapi memenuhi hati kita setiap hari sepanjang tahun. Bukankah begitu?

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: My Favourite Christmas
Penulis: Arie Saptaji
Penerbit: Gloria Cyber Ministries, Yogyakarta 2006
Halaman: 106 -- 111