Selamat Hari Natal (yang Sekuler, Konsumeristis)

Apakah Terlambat untuk Menebus 25 Desember?

Saya tidak bisa memutuskan apakah saya menanti-nantikan Natal atau ketakutan dengan Natal. Pesta, kegembiraan, dekorasi, musik, dan berkumpul dengan keluarga adalah menyenangkan, tetapi apakah itu adalah arti Natal yang sesungguhnya?

Saya bertanya kepada putra-putra saya, “Hei, anak-anak, apa arti Natal yang sesungguhnya?” Mereka bisa memberikan jawaban Sekolah Minggu kepada saya. Akan tetapi, bagi mereka dan saya dan sebagian besar kita, kita tidak berbuat lebih daripada membungkuk kepada bayi di dalam palungan. Mungkin kita menjauh selama beberapa waktu dari keributan untuk beribadah, tetapi kemudian kita kembali pada kegilaan masa perayaan itu.

Sebuah jawaban yang lebih jujur mungkin adalah yang diberikan oleh salah satu putra saya ketika dia berumur 4 tahun: “Natal adalah saat Santa Klaus meminta Yesus masuk ke dalam hatinya.” Hal yang kudus dan sekuler terbelit dan tidak bisa dilepaskan. Sebagai orang Kristen, kita berusaha untuk mengundang Yesus ke pesta, berharap Dia ditinggikan di tengah semuanya itu.

Jika Yesus adalah Raja segala Raja, merayakan kelahiran-Nya sudah tentu pantas dilakukan lebih dari sekadar kewajiban membungkuk sebelum kita mengambil hadiah.

Hal ini biasa terjadi pada Natal pada keluarga saya sendiri. Kami pergi ke kebaktian Malam Natal yang kemudian dilanjutkan dengan pesta makan malam keluarga. Natal pagi dimulai dengan anak-anak yang menunggu-nunggu kapan bisa membuka hadiah. Sebelum semua orang menyentuh hadiah, kami membaca Lukas 2 bersama-sama dan berdoa. Namun, benarkah semua yang kami lakukan ini? Rasanya seperti saya sedang berusaha untuk menyelipkan pengenalan akan Yesus ke dalam sebuah perayaan yang sedikit berkaitan dengan Dia. Jika Yesus adalah Raja segala Raja, merayakan kelahiran-Nya pantas dilakukan lebih dari sekadar kewajiban membungkuk sebelum kita mengambil hadiah.

Pada kenyataanya, Natal lebih seperti membawa kekecewaan daripada sukacita bagi dunia – semua uang, waktu, dan promosi heboh memberi kesan satu atau dua hari yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan. Kemudian hal tak terelakkan terjadi menghancurkan semuanya. Seseorang sakit flu, Anak Anda tidak menyukai hadiah yang Anda berikan, atau ibu Anda mengeluh dia tidak bertemu Anda pada Malam Natal.

Dengan tenang Dia tidur di dalam palungan, tidak mengganggu kekecewaan dan hiruk-pikuk Anda. Dan, seharusnya semua ini adalah tentang Dia...Jika itu yang terjadi, maka tidak akan ada kekecewaan. Terkadang saya bertanya-tanya, Tuhan, apa perasaan-Mu tentang Natal? Bagaimana pun, kita tidak pernah diperintahkan dalam Kitab Suci untuk merayakannya.

Sesungguhnya, kita lebih seperti bertemu dengan Juru Selamat kita dalam perasaan sedih setelah liburan, muak dengan diri kita sendiri karena terlalu banyak makan yang manis, dan menghabiskan terlalu banyak uang. Mungkin Natal hanya menjadi bukti setiap tahun bahwa materialisme kita dan obsesi kita dengan keluarga tidak akan mendatangkan sukacita yang kekal. Sehingga kemudian kita pun terdorong untuk “datang menyembah memuji Dia.” (t/Jing-Jing)

Audio: Selamat Hari Natal (yang Sekuler, Konsumeristis)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Today's Christian Woman
URL: http://www.todayschristianwoman.com/articles/2014/december/merry-secular...
Judul asli artikel: Merry (Secular, Consumeristic) Christmas!
Penulis artikel: Dr. Juli Slattery
Tanggal akses: 14 Oktober 2017