Natal – Sebuah Ironi

Natal – Sebuah Ironi

Karya: Ivonne Maranatha
Artikel seputar Natal (02122014)

Tanpa terasa, sekarang kita sudah memasuki penghujung tahun, yaitu bulan Desember, bulan yang dapat dikatakan cukup istimewa, khususnya bagi umat kristiani, karena sebentar lagi kita akan memperingati kelahiran Yesus Kristus (baca: Natal). Kemeriahan dan sukacita dalam menyambut Natal sudah dapat kita rasakan mulai awal bulan ini. Lagu-lagu Natal sudah banyak digaungkan. Mal-mal di kota-kota besar mulai berlomba menghadirkan suasana Natal di tempat mereka masing-masing. Mulai dari membuat pohon Natal setinggi-tingginya dan seindah mungkin, menghadirkan Santa Claus beserta dengan patung rusa-rusa yang setia menemaninya, menciptakan suasana musim salju dengan hempasan gabus-gabus putih di dalam mal, menghias ruangan dengan pernak pernik berwarna merah, hijau, putih, hingga menyusun dekorasi-dekorasi kreatif lainnya yang berkaitan dengan Natal. Dekorasi-dekorasi Natal di mal-mal tersebut seolah menjadi magnet bagi khalayak untuk datang berbondong-bondong, untuk berbelanja pernak-pernik Natal, ataupun sekadar mengabadikan momen indah bersama keluarga dan sahabat.

Demikian pula halnya di rumah. Umat kristiani sudah mulai sibuk memasang pohon Natal, membeli pakaian baru untuk Natal, menghias rumahnya dengan lampu Natal yang gemerlap, mengirim kartu Natal kepada sanak saudara, memesan kue-kue Natal, menyiapkan kado-kado Natal yang akan diberikan kepada orang-orang terdekat, serta menghubungi keluarga untuk dikunjungi pada hari raya Natal. Natal di masa kini berusaha disambut dengan sangat meriah, sangat indah, penuh dengan sukacita.

Namun, sadarkah kita bahwa sesungguhnya, peristiwa menjelang kelahiran Yesus di masa lampau tidaklah penuh dengan gemerlap sukacita dan kemeriahan yang kita rasakan pada saat ini? Peristiwa kelahiran Yesus pada masa lampau dapat dikatakan sebuah ironi jika dibandingkan dengan peringatan peristiwa Natal yang setiap tahun kita peringati dan rayakan. Diawali dengan keterkejutan Maria, seorang perawan, yang didatangi oleh malaikat yang mengatakan bahwa ia akan mengandung dan melahirkan Raja besar bernama Yesus (baca Lukas 1:28-31). Perasaan bingung, takut, dan terkejut bisa saja berkecamuk dalam diri Maria, yang pada saat itu masih berstatus sebagai tunangan Yusuf. Perlu kita ketahui bahwa dalam tradisi Yahudi pada masa itu, jika seorang perempuan ketahuan hamil di luar hubungan pernikahan, ia akan diancam dengan hukuman mati (dirajam batu).

Bukan itu saja, peristiwa kelahiran Yesus juga diwarnai dengan suasana yang sangat sederhana. Yesus tidak dilahirkan sebagai bayi dari seorang yang terhormat atau seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi dan terpandang. Yesus justru dilahirkan di tengah keluarga tukang kayu (Yusuf). Bahkan, dalam Injil Lukas, dikatakan bahwa Maria membungkus anaknya dengan lampin dan membaringkannya di dalam palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Lukas 2:7).

Ironi juga diperlihatkan melalui peristiwa malaikat yang mendatangi gembala untuk memberitakan kabar sukacita tentang kelahiran bayi Yesus. Para gembala itulah yang menjadi saksi pertama kelahiran bayi Yesus. Dalam konteks masyarakat Yahudi pada saat itu, pekerjaan sebagai gembala merupakan pekerjaan yang dipandang hina dan tidak terhormat. Bahkan, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat memandang gembala sebagai orang yang tidak dapat menjalankan Hukum Taurat dengan baik karena tidak membasuh tangan sebelum makan dan tidak dapat menunaikan hari Sabat karena harus menjaga ternaknya setiap hari1. Sebuah ironi yang memperlihatkan bahwa peristiwa kelahiran Yesus (seorang Raja dan Juru Selamat) bukanlah disaksikan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan penting dan terhormat, melainkan justru oleh para gembala yang selama ini kerap dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya.

Selain itu, peristiwa kelahiran Yesus juga diwarnai dengan peristiwa “berdarah”, yaitu pembunuhan anak-anak di Betlehem yang berusia dua tahun ke bawah (Matius 2:16-18). Peristiwa “berdarah” itu terjadi akibat kemarahan Herodes karena merasa diperdaya oleh orang-orang Majus. Orang-orang Majus mengabaikan perintah Herodes dalam menyampaikan informasi mengenai kelahiran bayi Yesus.

Kita dapat melihat betapa banyak ironi yang terjadi, mulai saat Yesus akan lahir, saat Yesus lahir, dan setelah kelahiran Yesus. Suasana yang mengejutkan, membingungkan, penuh dengan kesederhanaan, bahkan diliputi dengan suasana yang mencekam. Situasi yang sangat bertolak belakang dengan kemeriahan, kemegahan, dan kemewahan Natal yang banyak diperlihatkan oleh orang-orang Kristen pada masa kini. Dalam hal ini, tentu bukan berarti bahwa orang-orang Kristen tidak boleh merayakan kelahiran Yesus dalam suasana yang meriah dan penuh sukacita. Orang Kristen justru patut menyambut dan merayakan Natal dengan penuh sukacita karena seorang Raja dan Juru Selamat, yaitu Yesus Kristus telah lahir ke dunia demi menyatakan kasih-Nya kepada umat manusia. Namun, satu hal penting yang perlu kita renungkan lebih dalam adalah apakah di balik sukacita kita menyambut dan merayakan Natal, kita menghayati “ironi” yang terjadi saat kelahiran Yesus di masa lampau? Ironi yang sesungguhnya menyiratkan makna “KASIH” luar biasa yang hendak Yesus nyatakan kepada kita. Kristus sudi merendahkan diri sedemikian rupa, lahir berbalutkan kesederhanaan dalam situasi yang penuh dengan carut marut, demi menyatakan kasih-Nya kepada umat manusia. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kasih yang Kristus telah teladankan bagi kita dapat kita cerminkan dalam kehidupan nyata kita sehari-hari? Apakah dalam peringatan dan perayaan Natal, hati dan pikiran kita justru lebih berpusat dalam sukacita yang semu (karena saya dapat berkumpul dengan keluarga besar, saya dapat memperoleh kado Natal, saya dapat menikmati makan-makanan yang enak, saya dapat mengenakan baju Natal yang baru dan indah, dsb.)? Apakah melalui peristiwa Natal, kita dapat mengalami perubahan yang semakin signifikan, menjadi semakin serupa dengan pribadi Kristus yang penuh kasih, bahkan kepada orang-orang yang selama ini terabaikan dan terpinggirkan? Kiranya pertanyaan-pertanyaan ini dapat menolong kita untuk merefleksikan sukacita Natal dengan penuh makna.

1Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Lukas; diterjemahkan oleh A.A Yewangoe. Jakarta: Gunung Mulia. 2011.