Keakraban Sengsara Natal

Tugas Renungan Natal (by Philip Situmorang)

Ayat: Lukas 2:4-7.

Saat di sekolah minggu, seringkali terpikir dalam benak saya, mengapa Yesus dilahirkan di kandang domba dan dalam suasana yang tidak enak? Tidak ada tempat karena sejumlah penginapan penuh. Kondisi Maria yang akan bersalin tidak pada tempat yang layak.dan itu sedikit banyak pastilah membuat Yusuf khawatir.

Pertanyaan itu terus terngiang, mengapa Bapa membiarkan hal itu terjadi? Apakah Kristus harus mengalami proses seperti itu? Saya coba mencari tahu latar belakang kelahiran Yesus. Kondisinya, Yusuf harus mengajak Maria ke Betlehem karena ada perintah dari yang berkuasa saat itu untuk mengikuti sensus penduduk. Perintah itu harus dilaksanakan.

Mengutip tulisan * Pr Aloys Budi Purnomo dalam tulisannya di Kompas, Selasa, 23 Desember 2003, menyebut bahwa konteks politik saat itu ditandai dengan penindasan, kekerasan, dan ketidakpastian social yang tengah berkembang…." in a very turbulent period in Jewish history, the seething cauldron of first century Palestine (Seán P Kealy, CSSp, Jesus and Politics, 1997:20).

Kondisi politik sosial saat itu tidak pasti dan sering terjadi perubahan mendadak. Salah satunya, sensus penduduk yang tiba-tiba dicanangkan Kaisar Augustus, dan biasanya disertai kekerasan serta kebengisan. Itulah citra instabilitas politik saat itu.

Menurut sejarawan Yahudi, Plaphius Josephus, zaman Yesus adalah periode kekerasan akibat penjajahan Romawi, ditambah beban berat agama yang dibelenggukan dalam diri rakyat oleh para pemimpin Yudaisme. Lengkap sudah penderitaan rakyat karena ditindas kekejaman pemerintah kolonial dan kesadisan pemimpin teokratik.

Membayangkan susah payahnya Yusuf dan Maria dalam kondisi serba terbatas saat itu, gentar juga. Bagaimana Yusuf dan Maria dapat bertahan dalam kondisi seperti itu? Apakah mereka tidak mengeluh karena tidak mendapatkan hotel, padahal hari sudah malam dan persalinan sudah dekat?

Dari sisi manusia, sulit dibayangkan! Dari sisi manusia lagi, apakah Yusuf dan Maria tidak punya kerabat? Dan apakah Yusuf dan Maria tidak putus asa?

Saya langsung mengkaitkan dengan kondisi saat ini. 'Keakraban sengsara' Yesus sejak lahir menunjuk bahwa kesengsaraan itu masíh berlaku hinggá saat ini. Keakraban sengsara itu bisa berlaku pula bagi siapapun. Sebuah keakraban sengsara merupakan bentuk konkrit yang mudah dicerna manusia. Tapi keakraban dengan sengsara juga bisa membuat manusia jauh dari Tuhan.

Menyebut sengsara saat ini, ada banyak orang mengeluh kehidupan kerjaanya tidak meningkat. Ancaman PHK, barang-barang kebutuhan yang mahal hingga sulitnya mengurus anak agar tidak pengaruh kejahatan merupakan keakraban konkrit dan harus dihadapi.

Bahkan sengsara itu bisa pula tak terkatakan. Ketika suami atau istri tidak puas satu sama lain. Atau terhadap orang tua, terhadap tetangga kiri dan kanan, bahkan pada rekan kerja, teman dan lainnya. Bisa membuat sengsara menenggelamkan orang pada hal yang lebih buruk lagi.

Kelahiran Yesus dalam sengsara menurut saya mau menunjuk bahwa Allah bukan sosok yang jauh dari kehidupan keseharian manusia. Dia sangat dekat. Kesengsaraan itu pula menjadi sebuah perpekstif baru bagi kita.

Yusuf dan Maria merupakan model yang patut diteladani. Ketetapan dan keteguhan hati 'mengakrabi sengsara' menjadi alasan bagi kedunya untuk tetap dekat Tuhan. Meski membawa persalinan Kristus dalam sengsara, Yusuf dan Maria menerimanya dengan besar hati. Kebesaran hati Yusuf dan Maria itulah menjadi kunci keberhasilan mengakrabi sengsaraan itu. Dan dalam sengsara, kasih Tuhan nyata dan mendamaikan. Dalam teks di atas tidak secara detil disebutkan bagaimana perasaan hati Yusuf dan Maria menghadapi situasi sulitnya mencari penginapan dan mengikuti proses sensus. Tetapi jelas sekali bahwa keduanya mengantar persalinan itu dengan dengan patuh atau menurut akan percatan Tuhan dalam teks sebelumnya.

Bagi kita, kesengsaraan juga bisa menjadi sebuah jalan mengakrabi diri dengan Tuhan. Kesengsaraan bukan hanya soal materi tetapi juga kondisi hati. Mari belajar dari Yusuf dan Maria untuk mempunyai hati yang besar. Mempunyai keyakinan yang teguh bahwa Tuhan tidak jauh dan perhatianNya dekat pada orang yang mau mendengarkanNya. - amin -.

Kompas, Selasa, 23 Desember 2003, Natal, Iman, dan Politik, Aloys Budi Purnomo Pr Rohaniwan, Rektor Seminari Tinggi St Petrus, Pematang Siantar.

Judul: Keakraban Sengsara Natal
Teks Alkitab: Lukas 2:4-7
Nama Penulis: Philip Situmorang