Keajaiban Natal Saya

Untuk kebanyakan orang, ada satu Natal yang menonjol di antara yang lain, Natal yang seperti hari yang bersinar dengan cerah.

Walau tidak dapat menebaknya, Natal "sejati" saya bermula pada suatu hari, pada musim semi di tahun tersuram dalam kehidupan saya. Baru saja bercerai, saya dalam usia 20-an, tidak memiliki pekerjaan, dan dalam perjalanan menuju pusat kota berkeliling ke kantor-kantor ketenagakerjaan. Saya tidak memunyai payung karena yang lama sudah rusak dan saya tidak mampu untuk membeli yang baru. Saya duduk di dalam kereta dan di bawah tempat duduk terlihat sebuah payung dari kain sutera yang indah dengan pegangan berwarna abu-abu dilapis email warna emas yang bersinar terang. Saya tidak pernah melihat payung yang secantik ini.

Saya memeriksa pegangannya dan melihat sebuah nama digravir di lapisan emasnya. Biasanya saya akan memberikan payung tersebut kepada supir trem, tetapi dorongan hati membuat saya memutuskan untuk membawanya bersama saya dan menemukan sang pemilik sendiri. Saya turun dari trem saat hujan turun dengan lebat dan syukurlah saya bisa membuka payung tersebut untuk melindungi tubuh saya. Kemudian saya buka buku telepon di boks telepon dan mulai mencari nama yang tertulis di payung tersebut. Akhirnya saya temukan. Saya menelepon dan seorang perempuan menjawab.

Ya, ia menjawab dengan rasa terkejut, bahwa itu adalah payungnya, yang diberikan oleh orang tuanya -- yang sudah meninggal -- sebagai hadiah ulang tahun. Tetapi, tambahnya, payung itu dicuri dari tempat penyimpanannya di sekolah (perempuan tersebut adalah seorang guru) kira-kira setahun yang lalu. Ia sangat girang sehingga membuat saya lupa kalau saya sedang mencari pekerjaan dan langsung saja pergi ke rumah kecil perempuan tersebut. Ia mengambil payung tersebut dan matanya digenangi oleh air mata.

Guru tersebut ingin memberi hadiah kepada saya, tetapi -- walau uang saya yang tersisa hanyalah 20 dolar -- kebahagiaan perempuan itu saat menerima benda miliknya yang spesial ini sungguh mengharukan, sehingga bila saya menerima uang sepertinya akan merusak suasana. Kami berbincang sebentar dan saya memberikan alamat saya kepadanya. Saya tidak begitu mengingatnya.

Enam bulan berikutnya keadaan saya sangat menyedihkan. Saya berpindah-pindah kerja dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan gaji kecil, walaupun ini yang disebut orang zaman sekarang sebagai masa-masa sulit. Tetapi, saya masih mampu menyisihkan 25 hingga 50 sen untuk ditabung agar bisa membeli hadiah Natal bagi anak perempuan saya. Butuh waktu sekitar 6 bulan untuk menabung 8 dolar. Pekerjaan terakhir saya berakhir sehari sebelum Natal, tagihan sewa kamar saya sebesar 30 dolar sudah harus dibayar dan saya memiliki cek senilai 15 dolar, yang saya dan Peggy butuhkan untuk membeli bahan makanan. Ia berada di rumah setelah libur dari sekolah asramanya dan penuh harapan merima hadiahnya yang telah saya beli di keesokan hari. Saya membelikannya sebuah pohon Natal kecil dan kami akan menghiasinya malam itu.

Angin kencang sepertinya membawa keriangan Natal, saat saya berjalan keluar dari kereta menuju apartemen kecil saya. Bel berbunyi dan anak-anak berteriak pada petang yang dingin; jendela-jendela dihiasi lampu, serta setiap orang sepertinya berlari dan tertawa. Tetapi, tidak akan ada Natal bagi saya, saya tahu itu, tak ada hadiah, tak ada seorang pun yang mengingatnya. Saat saya berusaha berjalan di tengah salju yang turun, saya berada di titik terendah dalam hidup saya. Kecuali bila sebuah keajaiban terjadi, saya akan kehilangan rumah pada bulan Januari; tunawisma, kelaparan, dan menjadi pengangguran. Saya selalu setia berdoa selama berminggu-minggu dan tidak ada jawaban kecuali rasa dingin dan kegelapan, angin yang kencang, dan perasaan diabaikan. Tuhan dan manusia telah melupakan saya. Saya merasa sangat tua dan nyaris mati juga kesepian. Bagaimana nasib saya seterusnya?

Saya melihat ke dalam kotak surat. Hanya ada tagihan-tagihan di dalamnya, beberapa berkas surat, dan 2 amplop putih yang saya yakini berisi tagihan. Saya menaiki 3 lantai tangga yang berdebu dan saya mulai menangis, menggigil dalam mantel saya yang tipis. Tetapi, saya memaksakan diri tersenyum agar bisa menyambut anak perempuan saya dengan berpura-pura memperlihatkan wajah bahagia. Peggy membuka pintu untuk saya dan melemparkan dirinya ke dalam pelukan saya, berteriak dengan gembira dan mengajaknya untuk segera menghiasi pohon Natal.

Umur Peggy belum mencapai 6 tahun, tetapi sudah terbiasa menjaga diri sendiri seharian, saat saya bekerja. Dengan bangga ia merapikan meja dapur untuk makan malam, mengeluarkan panci serta tiga makanan kaleng yang akan menjadi santapan kami malam ini. Untuk beberapa alasan, saat melirik ke arah panci dan kaleng, saya merasa sedih. Kami hanya memiliki hamburger dan agar-agar untuk makan malam Natal kami esok. Saya berdiri di dapur kecil yang dingin dan kesengsaraan menguasai saya. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, saya meragukan keberadaan Allah dan kasih karunia-Nya dan rasa dingin di hati saya melebihi dinginnya es.

Bel apartemen saya berbunyi dan Peggy berlari dengan cepat membuka pintu sambil berteriak bahwa yang datang pasti Sinterklas. Kemudian saya mendengar seorang pria bicara dengan suara besar kepada Peggy dan berdiri di depan pintu. Ia seorang petugas pengantar paket dan tangannya penuh dengan parsel-parsel besar, dan ia tertawa melihat anak saya berteriak kegirangan sambil menari-nari. "Ini pasti sebuah kesalahan," kata saya, tetapi ia membacakan nama yang tertera di parsel dan itu memang buat saya. Ketika pria itu pergi saya hanya bisa menatap kotak-kotak parsel tersebut. Saya dan Peggy duduk di lantai dan mulai membuka kotak-kotak itu. Sebuah boneka yang sangat besar, tiga kali lebih besar dari boneka yang pernah saya belikan untuk Peggy. Sarung tangan. Permen. Sebuah dompet dari kulit yang indah. Luar biasa! Saya melihat nama pengirim parsel ini. Ternyata pengirimnya adalah guru perempuan yang saya kembalikan payungnya, di alamat hanya tertulis "California", tempat ke mana ia telah pindah.

Santap malam kami rasanya seperti makanan paling terenak yang pernah saya makan. Saya hanya bisa berdoa di dalam hati, "Terima kasih Bapa." Saya lupa tidak memiliki uang untuk membayar sewa apartemen dan hanya memiliki 15 dolar di dompet serta tidak memiliki pekerjaan. Saya dan Peggy makan dan tertawa bersama dalam kebahagiaan. Kemudian kami menghias pohon Natal kami yang kecil dan mengaguminya. Saya menidurkan Peggy di kamar kemudian meletakkan hadiahnya di bawah pohon, dan kedamaian yang indah membanjiri diri saya seperti sebuah ucapan syukur. Saya memiliki harapan lagi. Saya bahkan bisa meneliti berkas-berkas tagihan tanpa merasa takut. Lalu saya membuka kedua amplop putih tadi. Satu diantaranya berisi cek senilai 30 dolar dari perusahaan tempat saya bekerja dalam waktu singkat pada musim panas yang lalu. Di situ tertulis, cek itu adalah "Bonus Natal" saya. Wah, uang ini untuk membayar sewa apartemen saya!

Kemudian amplop putih terakhir ternyata berisi tawaran pekerjaan sebagai pegawai tetap di perusahaan pemerintah, dan saya sudah harus mulai bekerja 2 hari sesudah Natal. Saya duduk dengan surat di tangan dan cek terletak di atas meja di depan saya. Saya mulai berpikir kalau saat itu adalah saat paling membahagiakan di dalam kehidupan saya.
Lonceng gereja mulai berdentang. Dengan tergesa-gesa saya melihat ke arah Peggy yang tidur dengan lelap, lalu berlari keluar menuju jalan raya. Di setiap tempat orang-orang berjalan menuju gereja untuk merayakan kelahiran Juru Selamat. Orang-orang tersenyum kepada saya dan saya balasnya. Angin kencang telah reda; langit terlihat jelas dan penuh bintang-bintang yang berkelap-kelip.

"Tuhan sudah lahir!" seru lonceng gereja pada malam yang terang ini dan menertawakan kegelapan. Seseorang mulai menyanyikan lagu, "Oh come, All Ye Faithfull!" (Hai Mari Berhimpun). Saya bergabung dan ikut bernyanyi bersama orang-orang tak dikenal di sekitar saya.

Saya sama sekali tidak sendirian, pikir saya. Saya tak pernah sendirian selama ini.

Dan tentu saja, ini adalah pesan Natal. Kita tidak pernah sendirian. Tidak juga di malam yang penuh dengan kegelapan, saat angin bertiup dengan kencang dan membuat tubuh kita menggigil, dunia terlihat sangat berbeda. Karena saat ini adalah waktunya Tuhan.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul asli buku : Guideposts for The Spirit: Christmas Stories of Faith
Judul buku terjemahan : Guideposts bagi Jiwa: Kisah-kisah Iman Ntal
Penulis artikel : Taylor Caldwell
Penerjemah : Mary N. Rondonuwu
Penerbit : Gospel Press, Batam 2006
Halaman : 310 -- 318